Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono memilih irit bicara setelah diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Bambang yang diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu mengaku telah membeberkan seluruh materi yang diketahuinya mengenai penerbitan IUP.
Dalam proses penerbitan IUP PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), KPK menduga Nur Alam telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra selama 2009-2014.
"Saya sudah jelaskan ke KPK. Silakan tanya ke KPK," ujarnya sambil berjalan menuju mobil yang menunggu di depan gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (16/9).
Saat disinggung mengenai pelanggaran penerbitan IUP kepada PT AHB yang dilakukan Nur Alam, Bambang enggan berkomentar banyak. Kata dia, saat pemeriksaan penyidik KPK hanya meminta keterangan terkait proses penerbitan izin IUP.
"Saya hanya dimintai keterangan. Sudah saya jelaskan soal penerbitan izin. Pokoknya seputar itu (IUP PT AHB)," cetusnya.
Dikesempatan yang berbeda, Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati menjelaskan, tujuan penyidik memeriksa Bambang untuk menggali keterangan tentang kebijakan Kementerian ESDM untuk pihak pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin pertambangan.
"(Pemeriksaan Bambang) untuk dimintai keterangan tentang policy Kementerian ESDM mengenai izin pertambangan dan kebijakan pusat dan daerah terkait izin-izin pertambangan," ujar Yuyuk.
Selain Bambang, dalam mengusut kasus korupsi Nur Alam ini, penyidik Lembaga Antirasuah juga memeriksa karyawan PT Billy Indonesia, Suharto Martosuroyo.
Seperti halnya Bambang, Suharto juga diperiksa sebagai saksi untuk melengkapi berkas Nur Alam.
Sebelumnya, KPK juga telah memeriksa pemilik PT Billy Indonesia, Emi Sukiati Lasmon, Dirut PT AHB, Ahmad Nursiwan.
PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hongkong.
[sam]