Negara Indonesia dianggap terlambat membangun sistem jaminan sosial, termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), padahal konstitusi sudah mengamanatkan lama.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Latief dalam dialog publik bertema "Potret Kinerja BPJS Ketenagakerjaan, Tinjauan Peta Jalan," di Jakarta, Kamis (15/9).
Kalau soal capaian target 2016, BPJS Ketenagakerjaan optimis mencapai target peserta sebesar 21,9 juta pekerja. Pekerja di Indonesia saat ini mencapai 130 juta orang, pekerja formal 50 juta orang dan pekerja informal mencapai 80an juta orang. Seluruh pekerja itu harus jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sedangkan pekerja yang sudah jadi peserta BPJS TK masih 20,1 juta jadi masih di 40 persen dari pekerja formal.
"Jadi masih besar tugas dan tanggung jawab BPJS untuk cakupan kepesertaan ini," kata Latief.
Latief menambahkan, BPJS Ketenagakerjaan dalam pelaksanaan kinerja sampai saat ini masih menghadapi kendala secara kelembagaan dan program.
"Kita masih menghadapi kendala seperti penegakan hukum dan regulasi. Padahal di dalam UU BPJS telah disediakan sanksinya dan penegakan hukumnya. Seharusnya mudah diimplementasikan," katanya.
Dalam forum yang sama, Yusuf dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), menyatakan bahwa
roadmap BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya sudah jelas, terkait target di tahun 2019 dengan semua tenaga kerja sudah bergabung. Namun, menurutnya target itu tidak mudah.
"Kondisi perekonomian sekarang, harus diperhatikan, karena kondisi ekonomi yang memburuk akan berpengaruh pada kemampuan serikat pekerja yang merupakan penyumbang dana terbesar BPJS Ketenagakerjaan," katanya.
Jadi, menurutnya target itu bisa tak tercapai jika kondisi ekonomi menglami kemunduran. Selain itu, Yusuf menambahkan, pemahaman masyarakat masih terbatas terkait pentingnya BPJS Ketenagakerjaan juga mengurangi tingkat partisipasi.
Sedangkan Hery Susanto dari Masyarakat Peduli BPJS, menilai sekarang ini masyarakat mengalami krisis kepercayaan. Karena itu BPJS Ketenagakerjaan memerlukan mitra dari masyarakat yang bisa menarik partisipasi seluruh tenaga kerja.
Menurutnya masih stagnanya laju jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan juga disebabkan oleh kepemimpinan yang masih merasa memimpin di korporasi, bukan lagi badan hukum publik.
"Kondisi semacam itu membuat eklusif dan terpisah dari masyarakat, seakan terperangkap dalam istilah dari BPJS, oleh BPJS, untuk BPJS," katanya.
Menurutnya seharusnya jajaran direksi dan dewan pengawas BPJS Ketenagakerjaan harus satu visi, menyatakan bahwa rakyat sebagai pemegang saham. Hery menambahkan, target sulit tercapai jika tidak melibatkan masyarakat, apalagi hanya mengandalkan karyawannya yang jumlahnya 4.000-an.
"Manajemen BPJS Ketenagakerjaan harus membaur di tengah masyarakat baik itu pekerja formal dan informal, karena mereka adalah pemegang saham. Jadi lebih baik dana iklan di televisi dialihkan untuk pebangunan posko pendaftaran peserta di kampung-kampung," tukasnya.
[rus]