KETIKA kami sekeluarga berkunjung ke kantor Imigrasi dan Naturalisasi (IND) di kota Zwolle untuk mengambil perpanjangan KTP sementara (KTP-S) untuk isteri. Berbeda dengan KTP-S anak-anak yang berlaku sesuai dengan masa berlaku saya, pada awalnya KTP-S isteri hanya berlaku setahun, untuk selanjutnya terjadi perubahan keimigrasian untuk pasangan mahasiswa PhD Indonesia di negeri kincir angin ini.
Dalam antrian di kantor IND tersebut, ada banyak pengantri imigran muslim dengan perempuan-perempuan yang umumnya berjilbab dari Somalia dan Timur Tengah. Berkunjung ke kantor Imigrasi merupakan salah satu yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran karena merupakan palang pintu clearence suatu negara. Kami bersyukur karena sebenarnya hanya tinggal mengambil KTP-S saja yang segala sesuatunya telah diurus oleh pusat layanan mahasiswa internasional Rijksuniversiteit Groningen (RUG), berbeda dengan antrian para migran yang prosesnya cukup panjang dan ketat.
Pengetatan keimigrasian di negara Eropa pada umumnya karena terjadinya banyak konflik di Afrika dan Timur Tengah yang bersamaan dengan situasi ekonomi yang menuntut pengetatan, dan kekhawatiran terhadap isu terorisme. Peningkatan jumlah migran dari negara muslim melahirkan banyak kekhawatiran seiring dengan stereotype negatif yang tersemat dengan muslim.
Di sebagian besar negeri Eropa, baik di Inggris,Perancis (Beckford, Joly & Khosrokhavar, 2005) dan juga Belanda (Veldhuis et al., 2011), citra Muslim demikian negatif. Sebagian besar masyarakat Eropamemiliki stereoptype dan percaya terorisme dekat dengan Muslim (Cinnirella, 2012). Sebagai contoh, di Inggris 58 persen menganggap Islam berasosiaisi dengan ektremisme (BBC News, 2010) dan semakin tinggi proporsinya mencapai sekitar 73 persen di Belanda yang mengaitkan teror dengan muslim (PVV, 2013).
Beragam studi menunjukkan citra menjadi muslim sangat negatif (Helbing, 2012), tak bisa dipercaya (Sides & Gross, 2013) atau paling moderat simpati terhadap teroris (Condon, 2011). Citra ini diperbesar dan terus disebarluaskan di dalam beragam percakapan di media massa dan media sosial secara intensif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, sejak munculnya ISIS, perbincangan tentang ISIS hampir setiap hari muncul di radio dan televisi.
Bahkan di tingkat sekolah, berdasarkan cerita anak-anak di International School-Marteen College atau isteri yang rutin belajar dan berbagi pengalaman di pusat kegiatan warga(Center Jong en Gezin) yang juga banyak dihadiri migran dari beragam negeri serta amatan langsung saat mengantar anak bungsu ke sekolah yang juga cukup banyak migrannya, menunjukkan identitas muslim semakin berat.
Di sisi lain, studi-studi sejawat di Interuniversity Center Study and Methodology (ICS) yang merupakan kerja sama RUG, Utrecht University dan Radboud University menunjukkan bahwa para migran muslim tertinggal karena dilemma integrasi. Kesulitan integrasi ini berkaitan dengan pandangan keagamaan yang literal yang banyak dipengaruhi pemahaman Islam di Saudi Arabia.
Secara sikap, sebagian migran terkena sindrom disonansi kognitif (DK) karena mereka sangat menikmati tinggal di negera-negara Eropa namun secara nilai bertentangan. Sekalipun tak sepenuhnya simetris namun teori DK yang diperkenalkan pertama kali oleh Leon Festinger di tahun 1950-an ini berintikan sebagai perasaan ketidaknyamanan individu yang disebabkan sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Kenapa migran tersebut terkena DK? Barangkali pandangan keagamaan yang umum berkembang di Timur Tengah dan beberapa negara Afrika yang terlalu literalis dan kaku sehingga terlalu mudah mengharamkan banyak hal yang sebenarnya mubah. Semisal mengharamkan musik, film dan semacamnya yang merupakan bagian media untuk berinteraksi bahkan mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Dalam batas tertentu, Muslim Indonesia patut bersyukur karena para ulama dan penyebar Islam terdahulu mampu mensinergikan meminjam istilah Cak Nur ke-Islaman, keindonesiaan dan juga kemodernan sehingga Cohen dan Kennedy dalam buku teks Global Sociology†menilainya sebagai kompatibilitas Islam dengan modernitas, termasuk demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Putri pertama saya yang atas inisiatif sendiri berjilbab bercerita temannya yang dari Mesir yang selalu terperangah sambil menyatakan haram†semisal ketika putri saya yang dijilbab tak canggung untuk ikut berenang, nyanyi atau menari di sekolah. Aktivitas sekolah yang biasa saja bagi muslim Indonesia, ternyata dinilai diharamkan†sehingga anak Mesir tersebut tak bisa ikut semua aktivitas sekolah yang merupakan bagian dari sosialisasi dan interaksi. Kadang anak saya bertanya, kalau semua itu haram dan kamu juga bilang jilbab wajib, kenapa tidak berjilbab yang kebetulan anak Mesir tersebut tak berjilbab. Jawabnya, aku ingin berjilbab cuma takut kalau di sini. Anak-anak Indonesia terbiasa untuk berjilbab atau tidak berjilbab karena itu pilihan yang merupakan bagian dari kebebasan.
Cerita unik lain, disampaikan isteri atas kejadian di tempat kursus Bahasa Belandanya.Suatu ketika gurunya bertanya ke isteri saya, apakah boleh jika ada peserta kursus pria ikut bergabung?Isteri saya menjawab tak keberatan sebagaimana teman lainnya dari Eropa Timur namun peserta kursus perempuan dari Maroko dan Turki sangat keberatan dengan rencana adanya peserta kursus laki-laki. Beberapa di antaranya menyatakan akan berhenti kursus.
Isteri saya yang sejak lulus SD melanjutkan sekolah di pesantren Persis yang dikenal cukup literalis selama 7 tahun merasa tak masalah dengan kelas kursus campuran laki-laki dan perempuan. Dia cukup memahami konsep muhrim bi-aljamaah†yang bermakna laki perempuan bukan muhrim tidak boleh berduaan namun berkumpul dalam satu ruang publik bersama-sama seperti naik bus umum, angkot dan semacamnya dihalalkan. Sejak kecil anak-anak perempuan muslim Indonesia terbiasa naik bis, angkot bahkan sekarang ojek ke sekolah dan juga sekelas dalam sekolah, sekalipun ada sekolah yang memisahkan laki-laki dan perempuan, baik sekolah Islam maupun sekolah Katolik.
Singkatnya, migran muslim itu terpaksa pindah karena di negerinya konflik berkepanjangan sehingga masa depan semakin tak pasti bahkan suram sedangkan negera-negara Eropa lebih stabil, aman dan nyaman serta mendapat beragam fasilitas dan kemudahan layanan pendidikan, kesehatan dan juga tunjangan biaya hidup selama tidak atau belum bekerja. Mereka sangat nyaman dengan apa yang diterimanya namun mereka bimbang dalam keberagamaannya, itulah DK.
DK juga dirasakan banyak muslim di tanah air ketika pemilu, mereka melihat ada banyak calon muslim bahkan beridentitas muslim†namun perilakunya predator dan ada juga yang muslim (istilah dulu Abangan) dan non-muslim yang baik dan kompeten. Tentu sebagian orang Muslim juga rasional, memilih orang yang akan mengelola negara, provinsi dan kabupaten/kotabukan untuk memilih penceramah pengajian atau khatib sholat jumat namun untuk mengelola layanan publik yang baik, profesional dan transparan. Mereka juga ingin ber-Islam secara kaaffah dengan syariat Islam namun mereka juga tak yakin bahwa model syariat yang ditawarkan†dengan mengimitasi sebagian negara di Timur Tengah tersebut benar-benar maksud syariat (maqasid) karena faktanya sebagian negeri muslim tersebut lebih memprihatinkan dibandingkan negeri lain sehingga banyak warganya yang terpaksa pindah.
Disinilah pandangan alternatif mengemuka, bahwa simbol Islam itu perlu namun yang lebih penting lagi substansi Islam yang menyelamatkan.
Wallahu’alam.
[***]
Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS),University of Groningen, The Netherlands.