Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
KISAH pertemuan dan perÂpisahan antara Nabi Musa dan Khidhir menyimpan beÂgitu banyak makna. Dalam surah Al-Kahfi, Allah Swt menceritakan dua figur meÂnarik sekaligus mewakili dua sudut pandang epistimologi yang berbeda, yaitu kisah antara Nabi Musa dan KhiÂdhir. Nabi Musa sosok intelektualis yang sangat idealis dan perfect. Upayanya di dalam mencari kebenaran bertekad tidak akan berhenti sebeÂlum menemukan target yang dicari. Target itu ialah pertemuan dua laut (majma' al-bahrain) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lauÂtan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". (Q.S. al-Kahfi/18:60). Sayang sekali para ulama tafsir kita menafsirkannya dengan pertemuan antara laut Persia di timur dan laut Romawi di barat. Padahal menurut kalangan mufassir sufistik (isyari), pertemuan dua laut itu ialah lautan keilmuan, karena bahasa Arab Al- Qur'an sering menggunakan bahasa konotasi di dalam mengungkap sesuatu yang istimewa. Yang dimaksud dalam ayat itu sebenarnya ialah kombinasi antara epistimologi keilmuan dan epistimologi makrifah.
Figur Musa terlalu mengedepankan logika. Apa saja mau dipertanyakan secara logika, sampai kepada wujud Tuhan pun akan diinderanya. Lihat misalnya ketika Nabi Musa diminta Tuhan belaÂjar kepada seorang hamba-Nya yang arif (18:65), persyaratan sang guru tinggalkan logikanya denÂgan jalan mengendalikan nafsu intelektualnya dengan cara bersabar (18:67). Nabi Musa beruÂsaha untuk bersabar tetapi ternyata tradisi berfikir kritisnya sulit dikendalikan, sehingga ia mendapÂatkan peringatan pertama, ketika Nabi Musa harÂus menyaksikan perahu-perahu nelayan yang tak berdosa dibocorkan satu persatu. Akhirnya Nabi Musa minta maaf kepada gurunya, tetapi kejadian kedua Nabi Musa masih belum bisa membersihkan diri dari sikap kritis yang sudah tertancap di dalam benaknya. Ia masih mempertanyakan, keÂnapa anak kecil yang tak berdosa harus dibunuh. Gurunya memberikan peringatan kedua dan Nabi Musa pun secara tulus memohon maaf atas kelancangannya merusak janjinya.
Peristiwa selanjutnya, Nabi Musa sudah muÂlai pasrah memugar sebuah reruntuhan banguÂnan tua selama berhari-hari tanpa kenal lelah. Nabi Musa berharap dengan selesainya banguÂnan ini ia akan diajar lebih intensif di dalamnya. Alangkah kagetnya Nabi Musa setelah banÂgunan selesai dipugar, sang guru minta agar melanjutkan perjalanan entah ke mana dan meninggalkan bangunan baru itu. Nabi Musa kembali bertanya, untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga sekian lama membangun bangunan ini terus ditinggalkan begitu saja. Akhirnya Nabi Musa mendapatkan peringatan ketiga dan terakhir. Ternyata engkau memang belum pantas menjadi murid saya. Kali ini Nabi Musa juga tidak meminta maaf lagi. Ia pasrah dan siap untuk gagal menjadi murid.
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Rabu, 31 Desember 2025 | 02:05
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:27
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:15
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:02
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:28
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:17
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:05
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:22
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:19
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:03