Berita

JOHAN O SILALAHI

Publika

Paradox Pilihan Presiden Jokowi

JUMAT, 29 JULI 2016 | 10:10 WIB | OLEH: JOHAN O. SILALAHI

RESHUFFLE kedua Kabinet Kerja akhirnya terjadi juga. Terjadi pada saat kepercayaan publik tentang jadi tidaknya reshuffle kabinet kedua sudah sampai pada titik jenuh. Reshuffle kabinet kedua ini betul-betul menjadi paradox bagi Presiden Jokowi, apakah akan menjadi seperti pemimpin lainnya yang peragu dan selalu lambat mengambil sikap, atau sebaliknya menjadi pemimpin yang penuh percaya diri, bisa cepat dan tepat mengambil keputusan.

Secara objektif Saya bisa membaca dan memahami perang batin, pergolakan pemikiran, strategi dan siasat yang dijalankan oleh Presiden Jokowi. Saya akan uraikan disini beberapa aspek penting dan strategis, tapi tetap banyak yang Saya simpan karena sangat sensitif, bisa menjadi senjata dan amunisi untuk menyerang Presiden Jokowi dan pemerintahannya.

Dalam kehidupan, sudah kodratnya Kita selalu dihadapkan pada pilihan. Paradox saat Kita memilih ini terjadi pada semua orang. Bagi Saya paradoxnya adalah jika berada dalam pemerintahan, maka Saya harus ikut bertanggung jawab memperbaiki semua kekurangan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Sebaliknya jika berada di luar pemerintahan, karena kecintaan Saya pada bangsa dan negara ini, mau tidak mau, suka tidak suka, Saya akan selalu membantu memberikan kritik konstruktif dengan berbagai alternatif solusinya.

Secara objektif, ada berbagai kelebihan dan kekurangan dari reshuffle kabinet kedua ini. Kelebihannya, umumnya menteri yang diganti memang memiliki 'kelemahan' dan 'kontroversi' sejak dipercaya menjadi pembantu Presiden Jokowi. Kelemahannya sekaligus menjadi paradox pilihan Presiden Jokowi adalah karena menteri baru yang menggantikan juga memiliki berbagai 'kelemahan' dan 'kontroversi' juga. Satu hal yang sudah terbukti, berbahaya sekali jika memilih figur pembantu Presiden dengan tingkat 'trial and error' yang tinggi. Apalagi jika terjebak memilih orang yang salah jadi menteri. Sebagai contoh kebijakan 'kunci' pemerintahan yang sudah diluncurkan dibawah komando Presiden Jokowi yaitu program Tax Amnesty (TA).

Program TA ini dicanangkan dengan target terlalu tinggi dan bahkan cenderung irasional. Bisa Kita bayangkan, target TA adalah dana repatriasi dari luar negeri atau dana yang dideklarasikan dan harus dibawa kembali dan mengendap selama 3 tahun di Indonesia sebanyak 3500 hingga 4000 triliun rupiah. Kalkulasi dana TA atau pengampunan pajaknya dengan tarif sebesar 4 persen sekitar 160 triliun rupiah. Sangat mudah Kita pahami bahwa tidak mungkin ada sedemikian besar uang yang menganggur di bank asing di luar negeri milik kumpulan orang Indonesia, karena pasti sangat rugi menyimpan uang sedemikian besar dengan tingkat bunga di luar negeri yang sangat rendah. Filosofi hidup semua orang kaya sudah pasti terbiasa dengan perhitungan 'cost of fund', 'value of money' dan 'return of investment'. Sudah pasti, tidak mungkin ada dana sebesar itu yang dibiarkan sekedar menganggur atau 'tidur' di bank di luar negeri, serta dengan gampangnya dibawa 'terbang' kembali ke Indonesia. Sementara itu, target TA dari dalam negeri menjadi lebih tidak masuk akal lagi karena mengharapkan dana repatriasi sebesar 1000 triliun dan kalkulasi pengampunan pajak yang dibayarkan dengan tarif 2 persen sekitar 20 triiun rupiah. Logikanya, mudah sekali untuk memvalidasi dan menguji apakah benar ada dana di dalam negeri yang masih 'gelap' belum dikenakan pajak sebesar 1000 triliun rupiah melalui Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta bank-bank BUMN Kita.

Berdasarkan penelusuran data dan analisis yang Saya lakukan dengan beberapa pakar ekonomi serta beberapa sahabat sesama analis dan pengamat intelijen, maka dapat diprediksi bahwa program TA akan gagal mencapai target yang terlalu ambisius ini. Prediksi kegagalan program TA ini karena data intelijen yang direkomendasikan kepada Presiden Jokowi 'misleading' atau sesat. Kelak akan bisa dibuktikan apakah ini bagian dari operasi pembusukan untuk menjebak Presiden Jokowi, ataukah memang 'human error' karena kesalahan tim yang merekomendasikan angka-angka dan target TA, karena tidak melakukan prosedur intelijen berupa verifikasi, validasi, serta 'check & recheck' yang sangat ketat.

Satu hal yang pasti, Saya merekomendasikan agar Presiden Jokowi segera mempersiapkan beberapa opsi atau rencana cadangan dengan kegagalan pencapaian target TA ini. Sesungguhnya Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis karena menyadari 'badai' sudah di depan mata dengan 'membajak' Sri Mulyani Indrawati pulang ke Indonesia. Untuk mengerjakan banyak pekerjaan rumah dan mencuci piring- piring kotor yang ditinggalkan oleh menteri terdahulu. Tentu tidak serampangan bagi sosok perempuan cerdas seperti Sri Mulyani Indrawati sampai mau kembali untuk melakukan pekerjaan 'cleaning service' seperti ini. Pasti ada kesepakatan yang sangat dalam antara Presiden Jokowi dengan SMI. Tentu ada 'kekuatan raksasa' di balik kembalinya SMI ini sehingga bisa membuat kaget jajaran petinggi World Bank. Satu hal yang harus disadari oleh siapapun lawan politik Presiden Jokowi, bahwa peta dan kekuatan politik seluruh negeri sudah dikonsolidasikan oleh Presiden Jokowi. Suka tidak suka, jangan pernah bermimpi bisa menjatuhkan Presiden Jokowi dengan cara-cara gerilya politik. Presiden Jokowi hanya bisa 'jatuh' dan harus berhati-hati dengan perangkap dan jebakan dari sektor ekonomi. Hanya kegagalan sektor ekonomi ini yang bisa menjatuhkan dan memporak-porandakan bangunan 'kerajaan' yang sedang didirikan oleh Presiden Jokowi. [***]

penulis adalah pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia (PNI)

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya