Petugas gadungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisal HRS diringkus Ditreskrimum Polda Metro Jaya yang bekerjasama dengan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK pada Kamis (21/7) malam.
HRS diamankan di sebuah perumahan di Depok, Jawa Barat, dalam sebuah operasi tangkap tangan yang digelar tim gabungan KPK dan Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Selain HRS, tim satuan tugas gabungan itu juga mengamankan pihak lain berinisial I dan IBM. Keduanya merupakan diketahui merupakan korban dari HRS.
Selain HRS, tim satuan tugas gabungan itu juga mengamankan pihak lain berinisial I dan IBM. Keduanya merupakan diketahui merupakan korban dari HRS.
"Dari tiga itu, HRS sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dua lainnya masih berstatus saksi," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Krishna Murti saat konfrensi pers di kantor KPK, Jakarta Selatan, Jumat (22/7) malam.
Krishna menjelaskan, laporan adanya petugas KPK gadungan diterima dari Deputi PIPM KPK. Saat itu dalam laporan yang diterima kepolisian pada Rabu (20/7) kemarin, ada seorang saksi yang melaporkan upaya pemerasan oleh HRS.
"Pelaku mengaku sebagai Kabag Analisis KPK yang bisa membantu mengurus kasus yang tengah dialami saksi I, IBM dan R," sambung Khrisna.
Khrisna menjelaskan, HRS mengetahui bahwa I, R dan IBM pernah menjalani pemeriksaan sebagai saksi atas suatu kasus di KPK. Hal ini dimanfaatkan pelaku untuk memeras "pasien" KPK itu. Korban yang sudah percaya dengan tipu daya HRS akhirnya siap memberikan uang Rp 2,5 miliar.
"Jika tidak memberikan uang Rp 2,5 miliar, maka kasusnya akan dinaikan ke penyidikan dan dijadikan tersangka," ujar Krishna.
Sebagai uang muka, korban memberikan Rp 50 juta kepada HRS. Pemberian dilakukan dua cara. Pertama dengan transfer Rp 25 juta. Sisanya diberikan secara tunai.
Untuk memperkuat upaya tipu-tipunya, Krisna menjelaskan HRS berupaya meyakinkan korban dengan menunjukan contoh sprindik palsu yang sudah maupun yang belum ditandatangani pimpinan KPK.
Pelaku, lanjut Khrisna mengklaim dekat dengan penyidik antirasuah, hingga pimpinan KPK karena tinggal satu lingkungan. HRS juga mengklaim sering bertemu dengan pejabat KPK.
"Pelaku memperlihatkan lima sprindik yang sudah dan belum ditandatangani terkait kasus DPRD Sumut," ujar Khrisna.
Atas perbuatannya, HRS dijerat pasal 263 KUHP, pemalsuan dokumen, 372 KUHP tentang penipuan dan penggelapan, serta 368 KUHP terkait pemerasan. "Karena ini kasus pidana umum, akan disidik Polri," tutup Khrisna.
[sam]