SEJENAK melakukan perenungan pada hakikat makna Ramadhan yang telah dilewati. Benarkah, selama sebulan lamanya kita telah menjalankan ibadah puasa dengan penuh ketaatan dan kepatuhan serta hanya mengharap ridla-Nya, sebagai bukti meningkatnya kualitas ketaqwaan kita kepada Allah swt? Sebagaimana maksud dicanangkannya puasa itu sendiri (QS Al-Baqarah: 183).
Selanjutnya, betulkah, kita semua telah lulus dalam menghadapi ujian berpuasa sebulan penuh lamanya, membendung dan menyingkirkan segala godaan dan hawa nafsu? Berhasilkah kita membersihkan iman dari bintik noda kemaksiatan, kemunafikan, dan kemungkaran? Setidaknya ada tiga pesan ramadhan yang mesti menjadi rujukan, yaitu:
Pensucian diri
Musuh terbesar umat manusia, yakni hawa nafsu sebagai musuh yang tidak pernah berdamai. Rasulullah SAW bersabda: Jihad yang paling besar adalah jihad melawan diri sendiri.
Di dalam diri setiap manusia terdapat nafsu atau naluri sejak ia dilahirkan. Yakni naluri marah, naluri pengetahuan dan naluri syahwat. Dari ketiga naluri ini, yang paling sulit untuk dikendalikan dan dibersihkan adalah naluri syahwat. Imam Al-Ghazâlî berkata: bahwa pada diri manusia terdapat empat sifat, tiga sifat berpotensi untuk mencelakakan manusia, satu sifat berpotensi mengantarkan manusia menuju pintu kebahagiaan, yaitu: (a) sifat kebinatangan tanda-tandanya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tanpa rasa malu; (b) sifat buas tanda-tandanya banyaknya kezhaliman dan sedikit keadilan sehingga yang kuat selalu menang sedangkan yang lemah selalu kalah meskipun benar; (c) sifat syaitan tanda-tandanya memperturutkan hawa nafsu yang menjatuhkan martabat manusia.
Jika ketiga tiga sifat ini lebih dominan atau lebih mewarnai sebuah masyarakat atau bangsa niscaya akan terjadi sebuah perubahan tatanan sosial yang sangat mengkhawatirkan, di mana keadilan akan tergusur oleh kezhaliman, hukum bisa dibeli dengan rupiah, undang-undang bisa dipesan dengan
traveler check, sulit membedakan mana yang hibah mana yang suap, penguasa lupa akan tanggungjawabnya, rakyat tidak sadar akan kewajibannya, seluruh tempat akan dipenuhi oleh keburukan dan kebaikan menjadi sesuatu yang terasing, ketaatan akhirnya dikalahkan oleh kemaksiatan.
Sedangkan satu-satunya sifat yang membahagiakan adalah sifat Ketuhanan (rububiyah) ditandai dengan keimanan, ketakwaan dan kesabaran yang telah kita suburkan sepanjang bulan Ramadhan.
Orang yang dapat mengoptimalkan sifat rububiyah di dalam jiwanya niscaya jalan hidupnya disinari oleh cahaya Al-Qur'an, prilakunya dihiasi budi pekerti yang luhur. Selanjutnya, ia akan menjadi insan yang bertakwa yang menjadi dambaan setiap orang. Insan yang dalam hari raya ini menampakkan tiga hal sebagai pakaiannya: menahan diri dari hawa nafsu, memberi ma`af dan berbuat baik pada sesama manusia (QS Ali Imran: 134).
Tolong-menolong
Pesan sosial Ramadhan ini tergambar dengan indah indah justru pada detik-detik akhir Ramadhan dan gerbang menuju bulan Syawwal. Di mana, ketika umat muslim mengeluarkan zakat, infaq dan sodaqoh yang menampakkan bagaimana tali silaturrahmi serta semangat untuk berbagi demikian nyata terjadi. Kebuntuan dan kesenjangan komunikasi dan tali kasih sayang yang sebelumnya sempat terlupakan tiba-tiba saja hadir, baik di hati maupun dalam tindakan.
Semangat zakat zakat, infaq dan sodaqoh ini melahirkan kesadaran untuk tolong menolong antara orang-orang yang hidupnya berkecukupan dan orang-orang serba berkekurangan.
Kesungguhan atau Jihad
Jihad yang dimaksud di sini, bukan jihad dalam pengertiannya yang sempit; yakni berperang di jalan Allah akan tetapi jihad dalam pengertiannya yang lebih luas, yaitu:
"Mengecilkan arti segala sesuatu yang dimilikinya demi mendapatkan keridhaannya, mendapatkan pahala serta keselamatan dari siksa-Nya." Pengertian jihad ini lebih komprehensif, karena yang dituju adalah mengorbankan segala yang kita miliki, baik tenaga, harta benda, atapun jiwa kita untuk mencapai keridhaan dari Allah; terutama jihad melawan diri kita sendiri yang disebut sebagai jihad maha agung, yang esensinya adalah menunda kesenangan sesaat. Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, jihad yang kita butuhkan bukanlah jihad mengangkat senjata, akan tetapi jihad mengendalikan hawa nafsu keserakahan, konsumerisme berlebihan, penghisapan dan ketidakadilan, serta jihad untuk membebaskan umat dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Itulah tiga pesan suci (fitrah) yang disampaikan oleh Ramadhan yang kuncinya mengendalikan hawa nafsu kita sendiri, untuk tidak terpancing pada hal-hal yang terlarang dan merugikan orang lain; menjalin hubungan silaturrahim serta kerjasama sesama muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, serta menggelorakan semangat jihad untuk membangun sebuah sistem sosial yang bermartabat, sejahtera dan berkeadilan.
Kaum muslimin memang berhak bergembira pada hari ketika berbuka dan lebaran tiba, namun kegembiraan kita tetap harus ada dalam koridor dan rambu nilai dan ajaran Islam. Lalu pertanyaannya adalah gembira yang islami itu yang bagaimana? Gembira yang wajar-wajar saja (sineger tengah, al-wasith), gembira yang penuh rasa syukur, gembira yang tidak sampai melupakan atau bahkan melecehkan adanya keprihatinan di fihak lain.
Kegembiraan kaum muslimin atas datangnya ‘Iedul Fitri tentunya menjadi haknya sebagai balasan atas penunaian ibadah puasa dengan penuh keikhlasan dan semata-mata mengharap ridlo-Nya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
Barang siapa yang melaksanakan puasa di bulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.Setelah puasa dan dilengkapi dengan berbagai ibadah lainnya selama sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan niat ikhlas dan hanya mengharap ridla Allah yang disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah, dosa-dosa kitapun diampuni. Namun seperti kita ketahui, dosa yang diampuni itu, hanyalah dosa yang berhubungan langsung dengan Allah. Sementara masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing.
Oleh karena itu, untuk menyempurnakan nilai fitrah kita semua, setelah kita menunaikan shalat idul fitri berkembanglah tradisi Halal bil Halal†yang maknanya saling membebaskan, dan menghalalkan serta memaafkan.
Dengan demikian, di hari nan fitri ini kita semua diharapkan dapat membersihkan diri dari segala noktah dosa dan alfa sehingga kembali bersih dan suci seperti seorang bayi yang baru dilahirkan. Tentu saja kita tidak ingin merugi (bangkrut) di hari akhir nanti sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
Orang yang benar-benar bangkrut (pailit) diantara umatku ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa seabrek pahala shalat, puasa dan zakat; tapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka diberikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang pernah di dzaliminya) dan ditimpakan kepadanya. Kemudian dicampakkanlah ia ke api neraka. Ternyata mulut, tangan, kaki, dan anggota tubuh kita yang biasa kita gunakan untuk beribadah, bersujud, berdzikir, berpuasa, memberikan zakat, dapat membuat kita pailit kelak. Tidak hanya menghabiskan modal pahala yang kita tumpuk sepanjang umur kita tapi bahkan dapat menimpakkan kealfaan orang lain menjadi tanggung jawab kita. Ini semua disebabkan karena kita terlalu meremehkan dosa dan kesalahan terhadap sesama. Oleh karenanya, apabila kita memuliakan Allah, maka termasuk memuliakan yang dimuliakan Allah yaitu manusia. Memuliakan manusia adalah dengan akhlak yang baik tanpa membedakan status sosial, ekonomi, suku dan agama. [***]
Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.