Setelah tiga bulan terakhir bekerja mengaudit proyek reklmasi pantai utara Jakarta, Komite Gabungan yang diinisiasi Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan adanya tiga pelanggaran dalam proyek tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran itu dibagi dalam tiga kategori, yakni berat, sedang, dan ringan.
Dijelaskan, pelanggaran berat berarti pulau-pulau yang keberadaannya membahayakan lingkungan hidup, menganggu proyek vital seperti pipa bawah laut, membahayakan lalu lintas laut dan pembangunannya secara teknis sangat merusak lingkungan. Pulau G masuk dalam kategori pelanggaran berat, karena di bawahnya terdapat kabel-kabellistrik milik PLN. Selain itu keberadaan Pulau G juga menganggu lalu lintas kapal-kapal nelayan.
"Sebelum ada pulau G itu kapal nelayan dengan mudah parkir di Muara Angke. Sejak ada pulau itu kapal nelayan mutar-mutar buat parkir. Pembangunanya secara teknis juga betul-betul merusak lingkungan dan sembarangan. Pulau G dibatalkan untuk jangka waktu seterusnya," papar Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli membacakan hasil kerja komite gabung dalam rapat yang dihadiri menteri-menteri terkait di kantornya, Jakarta, Kamis (30/6).
Untuk kategori pelanggaran sedang yakni pembangunan pulau yang berorientasi pada mengejar keuntungan semata tapi masih bisa dikoreksi. Masuk kategori ini yakni Pulau C, D dan N.
Rizal menjelaskan, pulau C dan D seharusnya dipisahkan antar pulau, ada kanal pemisah selebar 100 meter dengan kedalaman 8 meter agar tidak menganggu arus lalu lintas kapal. Namun karena pihak pengembang berjanji akan memperbaiki dan membongkar lagi pulau untuk membangun kanal, pemerintah mengizinkan untuk melanjutkan pembangunan pulau. Apalagi pulau N diperuntukkan untuk pelabuhan bagi PT Pelindo II.
"Karena kerakusan yang berlebihan, mau untung aja, digabungin pulaunya. Mereka (pengembang) korbankan lingkungan hidup, lalu lintas kapal, meningkatkan risiko banjir. Setelah kami enforce, pengembangnya bersedia membongkar ulang itu.
Karena mereka mau membongkar lagi, kami mengizinkan melanjutkan pembangunan ini," lanjut Rizal.
Kategori ketiga adalah pelanggaran ringan, di mana pembangunan pulau melanggar sisi administrasi. Untuk kategori ini, pemerintah memasukkan prinsip inklusivitas. Nantinya pulau-pulau yang belum terkoreksi oleh komite gabungan, harus menerapkan prinsip inklusivitas.
Inklusivitas merujuk pada alokasi khusus bagi nelayan untuk bisa dijadikan kawasan terpadu nelayan atau bahkan menjadi sektor wisata baru dan juga akses pantai publik.
"Kami ingin meng-
enforce inklusivitas, kami menyarankan pengembang yang sudah diizinkan go ahead, supaya menerapkan ini agar tidak eksklusif. Dialokasikan sekian hektar khusus untuk nelayan, umum dan wisata. Kalau ada kampung nelayan yang bagus, buat jadi wisata,
kan bagus. Kami minta supaya Pemerintah DKI mengenforce untuk perkampungan nelayan yang hijau dan jadi objek wisata," urai Rizal.
[wid]