Hendaknya dipastikan bahwa Nasionalisme bagi bangsa Indonesia hanya satu yakni mengakui secara sadar tanpa syarat dengan nilai, ideologi dan semangat bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di Indonesia yang bertanah air dan berbahasa Indonesia. Dalam nasionalisme yang satu tersebut tidak terbuka bagi budaya, cara pikir, ideologi lain yang menguasai bangsa ini sekalipun dalam nasionalisme Indonesia tumbuh dan terbangun dalam kebhinnekaan atau pluralisme.
Demikian disampaikan Ketua Umum Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Muliawan Margadana menyambut Dies Natalis ISKA ke-58, Kamis (26/5).
Pernyataan itu dilatarbelakangi beberapa temuan mengejutkan hasil dari penelitian Setara Institute tahun 2010 dengan 1.200 responden berusia lebih dari 17 tahun di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, di mana 8,5 persen responden mendukung gerakan keagamaan radikal. Sementara, 60,9 persen responden tidak dapat menerima kehadiran paham keagamaan baru di luar mazhab dan aliran mainstream, serta setuju jika paham keagamaan baru ini tidak diberi ruang untuk berkembang.
Data OECD Social Indicators menyajikan indeks toleransi di Indonesia pada medio 2011 angka yang sangat rendah yakni 30 di antara negara-negara lain di dunia. Angka ini berada di bawah India (31) dan merupakan negara terendah kedua setelah Estonia (26). Sebaliknya, Canada dan Australia menjadi negara dengan tingkat toleransi tertingggi dengan angka 84. Meski demikian, perubahan toleransi terhadap kaum minoritas di Indonesia sejak 2007 hingga 2011 menunjukkan tren membaik dibanding negara lain yaitu sekitar 6, jauh diatas India yang justru mengalami tren negatif -11.
Penelitian potensi radikalisme di kalangan mahasiswa perguruan tinggi agama yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada 2012 menunjukkan bahwa potensi radikalisme yang berbasis pemahaman ideologis yang cenderung kaku dan hitam-putih terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa Muslim, Katolik, Kristen, Hindu maupun Budha.
"Nasionalisme Indonesia adalah sebuah idiologi, nilai serta semangat yang hanya mengakui bahwa Indonesia merupakan satu-satunya bangsa yang bertanah air di dan berbahasa Indonesia yang hidup serta bertumbuh dalam kebhinnekaan atau pluralisme atas suku, agama dan budaya," jelas Muliawan.
Sebagai konsekuensinya, dalam nasionalisme yang satu itu harus muncul dan tumbuh solidaritas tanpa sekat yang menyingkirkan paham dan pengertian sempit terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Solidaritas selalu mengacu pada rasa kebersamaan, kesatuan kepentingan dan cita-cita bersama, empati yang senantiasa diletakkan pada nilai-nilai luhur yang oleh para pendiri bangsa dibangun sebagai fondasi negara.
"Hanya saja, sejak reformasi 1998 dan bahkan tahun-tahun belakangan solidaritas tanpa sekat itu tidak muncul. Selalu yang difoto di media adalah solidaritas dengan sekat yang hanya dimiliki oleh kelompok, suku, agama, partai. Solidaritas dengan sekat, sekalipun dikatakan sebagai bentuk nasionalisme, tetap saja tidak mewakili perasaan seluruh bangsa. Selalu ada kekuatan mayoritas versus minoritas yang muncul dalam solidaritas dengan sekat. Nasionalisme yang satu hanya mengenal solidaritas tanpa sekat," beber Muliawan.
Dia mengingatkan, nasionalisme tetap harus berbasis pada nilai-nilai luhur yang telah diletakkan sebagai fondasi bangsa oleh para pendiri negara. Dalam bertindak, semua bisa mengklaim atas nama nasionalisme tetapi bisa dipertanyakan nasionalisme yang mana jika tindakan atau gerakan yang dilakukan hanya untuk kepentingan kelompok.
"Nasionalisme Indonesia yang satu itu harus sampai pada sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya adalah, nasionalisme yang satu itu harus memberikan dan menghasilkan kesejahteraan bagi bangsa dan bukan suku, agama, kelompok atau orang-orang partai saja. Singkatnya nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang menyejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia," kata Muliawan.
Ia juga menambahkan, konflik horizontal dengan latar belakang apapun membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai bentuk keterikatan sebagai bangsa masih rendah. Agama yang seharusnya menyejahterakan umatnya malah senantiasa dan sering dijadikan alasan munculnya konflik. Setiap warga negara dan rakyat apapun agama dan sukunya mempunyai hak untuk sejahtera di Indonesia.
Oleh karenanya, ISKA mengajak seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan gerakan bela negara dan bela rasa guna terus mewujudkan solidaritas tanpa sekat, dan memupuk nasionalisme yang menyejahterahkan.
[wah]