RAKYAT yang buta sejarah katanya nasibnya bakal lebih terpuruk (kata orang Betawi: bakal lebih ngeblangsak) daripada rakyat yang buta huruf atau buta aksara.
Itulah sebabnya waktu para pendiri kemerdekaan mempersiapkan kemerdekaan mereka bertekad lebih dulu mencerdaskan kehidupan bangsa, membuat bangsa ini tidak buta huruf sekaligus tidak buta sejarah.
Kenapa sebuah bangsa tidak boleh buta sejarah? Antara lain katanya supaya mampu secara berkelanjutan MENGHAYATI KETERHINAAN sebagai inlander yang terjajah, lalu menjadi mampu mengangkat harkat dan martabatnya sendiri.
Sinyalemen kita misalnya tidak sedikit di antara anak-anak muda sekarang yang menyangka bahwa sejarah perjuangan Indonesia bermula dari lahirnya Orde Baru.
Perlawanan awal bangsa kepada penjajah untuk mencapai kemerdekaan bukan dengan pistol, senapan, dan persenjataan. Para perintis kemerdekaan lebih dulu melawan penjajah dengan tulisan, dengan mendirikan suratkabar, organisasi, dan menjalani profesi kewartawanan. Contohnya Sukarno, Sam Ratulangi, Cipto Mangunkusumo, Danudirjo Setiabudi, Tan Malaka, dan banyak lagi, yang menggagas pikiran-pikiran kemerdekaan melalui tulisan. Sedangkan organisasi militer modern Indonesia cikal bakalnya merupakan bentukan Jepang (1942), institusi militer nasional baru didirikan bulan Oktober 1945.
Dalam politik ada ungkapan
forgive but don't forget, maafkan tapi jangan lupakan, tetapi sebagai bangsa kita katanya terlalu permisif mudah melupakan dan gampang kasih maaf, sehingga sebagai bangsa tidak bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Mudah melupakan begitu saja berbagai penindasan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa asing yang menyebabkan rakyat menderita. Lantaran tidak ada sikap yang jelas karena permisif sempai hari ini sebagai bangsa kita tidak bisa tegak dihadapan bangsa asing, masih menghamba dan jadi pesuruh dalam bidang ekonomi.
Buta sejarah katanya menyebabkan Indonesia jadi negara yang kehilangan makna. Lihat saja peringatan 70 tahun kemerdekaan beberapa hari yang lalu. Upacara bendera di istana mirip seremonial para pembesar VOC, tidak ada makna, tidak ada motivasi yang disuarakan oleh para elit selain kata-kata pidato klise yang diulang-ulang, tidak ada tekad yang jelas dan kuat untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenar-benarnya, yaitu sebenar-benarnya berdaulat di segala bidang.
Karena para elitnya demikian, rakyat di bawah semakin kehilangan makna akan hari kemerdekaan. Kesulitan hidup dalam berbangsa dan bernegara serta semakin dikuasainya aset-aset bangsa berupa kekayaan alam oleh bangsa asing saat ini seolah dilupakan dengan lomba makan kerupuk, balap karung, lomba bakiak, sampai lomba joget dangdut. Panjat pinang yang merupakan warisan buruk penjajah Belanda untuk melecehkan kaum pribumi bahkan diperlombakan di DPR Senayan.
Buta sejarah lebih berbahaya dari buta huruf, demikianlah potret NKRI dalam usia ke tujuh puluh. ***