SAMA-sama terkenal dan digadang-gadang punya simpanan uang dan kekayaan tak terbatas. Dua-duanya dikenal pernah punya isteri, tapi kemudian perkawinan mereka berakhir dengan perceraian. Memiliki ambisi yang besar dan selalu berbeda dengan orang kebanyakan, itulah persepsi umum bahkan sebuah stigma tentang Tommy Soeharto dan Prabowo Subianto.
*****
Kursi Presiden RI, bagi kalangan elit papan atas nampaknya merupakan tempat duduk yang paling menggoda untuk diduduki. Lihat saja Pilpres 2019. Masih sekitar tiga tahun lagi. Tetapi beberapa tokoh nasional atau yang menganggap diri mereka sudah menjadi tokoh, telah mendeklarasikan tekad. Ingin menjadi Presiden RI.
Ada pedangdut kondang Rhoma Irama, mantan Panglima TNI Jenderal purnawirawan Joko Santoso dan Tommy Soeharto.
Bukan mustahil makin dekat Pilpresnya, bakal bertambah lagi tokoh yang ingin menggantikan Presiden ke-7 Joko Widodo.
Dan satu nama yang diperkirakan bakal muncul lagi, Prabowo Subianto.
Perkiraan didasarkan pada bacaan, para konstituen Prabowo, tidak percaya dengan kekalahan Prabowo dari Joko Widodo dalam Pilpres 2014. Sehingga mereka terus mendorong agar Prabowo mencalonkan lagi.
Ditambah dengan melihat torehan kinerja Presiden Joko Widodo dalam satu tahun terakhir ini, yang mengandung banyak kelemahan, para konstituen percaya Prabowo bisa mengalahkannya di Pilpres 2019.
Namun yang menarik bukan soal banyaknya tokoh yang ingin bertarung. Juga bukan soal niat Prabowo bertarung kembali melawan Joko Widodo sebagai incumbent atau petahana. Melainkan munculnya Tommy Soeharto, ipar Prabowo Subianto dalam bursa capres 2019.
Mungkinkah Tommy Soeharto dan Prabowo Subianto bakal bersaing?
Pertanyaan ini memang masih terlalu dini. Sebab bagi Tommy, jalan dan prosedur yang harus dia tempuh sebelum resmi menjadi capres, masih cukup panjang dan penuh lika-liku.
Tapi andaikan Tommy lolos dalam seleksi pencalonan, siapakah yang paling berpeluang di antara mereka berdua ?
Yang pasti persaingan atau pertarungan Tommy dan Prabowo bakal lebih menarik.
Kalau diibaratkan dengan pertarungan tinju, duel Prabowo melawan Tommy akan merupakan sebuah pertarungan dua pentinju kelas berat dari satu sasana dan satu pelatih.
Pertarungan mereka bisa disebut sebagai "duel abad ini" atau sebuah "super duel".
Seharusnya mereka tidak boleh diduelkan. Namun mereka terpaksa bertanding karena faktor martabat dan harga diri sasana. Yang menjadi alasan bukan lagi soal hadiah yang menggiurkan.
Tommy ingin meneruskan legacy ayahnya Soeharto almarhum. Setelah hampir 18 tahun ayahnya lengser, Tommy tak lagi bisa menikmati "comfort zone" yang dulu diciptakan Pak Harto.
Prabowo ingin membuktikan latar belakangnya sebagai orang yang ditempa secara militer dan berjiwa enterpreneur, lebih cocok memimpin Indonesia.
Keduanya bisa dikategorikan sebagai sosok yang dibesarkan oleh satu orang. Yaitu Jenderal Besar Soeharto, penguasa Orde Baru yang memimpin Indonesia selama 32 tahun (1966-1998). Karena ikatan perkawinan, keduanya biasa disebut dari 'Keluarga atau Dinasti Cendana'.
Karena dibesarkan dalam tradisi keluarga militer, keduanya dikenal memiliki watak keras, tegas, petarung dan berwibawa.
Karena dibesarkan dalam lingkup kekuasaan yang cukup lama, watak keduanya dikesankan sedikit mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi.
Masih di dunia olahraga tapi dalam cabang sepakbola. Pertarungan keduanya dapat disamakan dengan tim sepakbola yang berlaga di Liga Utama Inggeris.
Pertarungan mereka disebut pertandingan Derby. Pertarungan dua tim yang berasal dari satu kota.
Sebagai satu kota, keduanya sama - ingin mempertahankan martabat dan keunggulan.
Di luar olahraga dan politik, sejauh ini kita tidak memahami secara jelas bagaimana hubungan kekerabatan dan kekeluargaan antara Prabowo dan Tommy. Dan kita tak ingin masuk campur urusan pribadi mereka.
Kita hanya tahu Tommy merupakan adik kandung Titik Soeharto. Sementara Titik Soeharto merupakan anak perempuan Soeharto yang dinikahi Prabowo Subianto. Pernikahan Titik Soeharto-Prabowo Subianto dikaruniai seorang putera.
Walaupun tidak ingin mencampuri, kita juga tidak bisa membohongi siapapun. Sebagai tokoh, kehidupan mereka tak lepas dari sorotan dan pergunjingan.
Sebagian besar rakyat jelata menyimpan sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah benar setelah perceraian Prabowo dengan Titik Soeharto lantas hubungan kekeluaragan antara Prabowo dan Keluarga Cendana, termasuk Tommy tentunya, memburuk?
Sehingga faktor ini pula yang menyebabkan, Tommy Soeharto sebagai anggota Keluarga Cendana tidak merasa rikuh bertarung dengan Prabowo yang nota bene masih saudara iparnya.
Dan yang pasti munculnya kedua nama ini di bursa capres, mengindikasikan bahwa keinginan Keluarga Cendana untuk berkuasa kembali, masih sangat kuat. Ambisi ini tentu wajar dan sah-sah saja.
Pertanyaan lainnya, apakah menebalnya keinginan Tommy Soeharto mengembalikan atau meneruskan kekuasaan ayahnya dikarenakan Keluarga Cendana merasa sedang disudutkan atau dizolimi?
Sebab merujuk pada putusan kasasi tentang keharusan Keluarga Cendana membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 4 triliun-an, putusan itu jelas merupakan sesuatu yang baru.
Selama ini Keluarga Cendana seperti tak terkalahkan oleh hukum. Dengan keputusan itu menunjukkan bahwa hukum sudah berlaku bagi Keluarga Cendana. Hukum bagi Keluarga Cendanapun bisa dipolitisasi atau sebaliknya.
Ganti rugi itu dikaitkan dengan penyalah gunaan dana yayasan Supersemar. Yayasan ini di era pemerintahan Soeharto dikenal banyak memperoleh sumbangan dana dari berbagai badan. Dan sebaliknya Supersemar juga banyak memberi beasiswa.
Jika latar belakang soal penzoliman ini benar, maka pencalonan Tommy untuk menjadi capres 2019 memiliki beban yang cukup berat. Jika Prabowo belum lepas dari bayang-bayang Keluarga Cendana, pencalonan Tommy, adik iparnya, juga bisa menjadi "liability"nya.
Dengan beban dan "liability" itu, Keduanya bakal menjadi "musuh bersama" oleh para kandidat yang sama-sama ingin mencegah kembalinya rezim bergaya Soeharto.
Tidak berarti beban itu tak bisa diatasi. Akan tetapi untuk mengatasinya, Tommy dan Prabowo harus keluar dengan strategi baru dan jitu.
Bagaimana bentuknya, itulah tugas penting yang harus didahulukan oleh mereka berdua.
Yang pasti uang tak terbatas dan ketenaran, serta bayang-bayang Soeharto, tak bisa mereka berdua jadikan sebagai senjata andalan.
[***]