Anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara Sutrisno Pangaribuan mengatakan terpublikasinya isu write off atau hapus buku sebesar Rp 325 miliar di Bank Sumut akan berdampak fatal bagi bank itu sendiri. Hapus buku secara langsung diartikan sebagai penghapusan tagihan kredit oleh bank kepada debitur sehingga para debitur merasa tidak memiliki tanggung jawab lagi untuk menyelesaikan kreditnya.
Menurut Sutrisno, hapus buku tidak dapat diartikan secara langsung sebagai hapus tagih. Hal ini mengacu pada peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum pasal 66 ayat 1 yang menjelaskan bahwa hapus buku atau write off adalah tindakan administratif bank. Antara lain untuk menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih kepada debitur. Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus semua kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan.
"Jelas perbedaan kredit hapus buku dan hapus tagih. Pada kredit yang telah dihapus buku, bank masih berkewajiban untuk melakukan penagihan meskipun kredit tidak lagi dicatat pada neraca bank. Apabila kredit yang telah dihapus buku tersebut berhasil ditagih maka hasil penagihan akan dicatat sebagai pendapatan pada bank tersebut. Proses hapus buku ini dapat dilakukan setelah bank melakukan pencadangan untuk kredit macet tersebut dan kredit yang akan dihapus buku telah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan bank untuk dihapus buku," jelasnya seperti dikutip Medanbagus.com, Senin (15/2).
Sutrisno mengatakan, berdasarkan Peraturan BI Nomor 14/15/2012 pada Bab VII pasal 66 dijelaskan bahwa kebijakan hapus buku wajib disetujui oleh dewan komisaris dan prosedur hapus buku wajib disetujui paling rendah oleh direksi. Dewan komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku.
Bank Sumut yang merupakan perusahaan milik daerah (BUMD), dewan komisarisnya dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham, dalam hal ini yaitu Pemprov Sumut dan Pemkab/Pemko.
Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa adanya proses penghapusbukuan kredit macet harus diketahui oleh Dewan Komisaris Bank Sumut. Sedangkan dewan komisaris selalu bertindak mewakili kepentingan pemegang saham yaitu Pemprovsu, Pemkab dan Pemko. Maka, jika terjadi write off, dewan komisaris selaku perpanjangan tangan para pemegang saham harus dapat menjelaskan kondisi tersebut kepada para pemilik saham. Sehingga sangat tidak tepat kalau Pemprovsu, Pemkab/Pemko menyatakan tidak mengetahui kondisi write off.
"Bila Dewan Komisaris tidak mengetahui adanya write off ini, maka dewan direksi telah melakukan pelanggaran. Sedangkan bila telah diketahui oleh dewan komisaris maka selanjutnya hal ini telah menjadi tanggung jawab dewan komisaris. Seharusnya karena keadaan ini bukanlah peristiwa biasa, komisaris harus segera mengajukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)," ungkap Sutrisno.
Untuk itu, Sutrisno mendesak agar pihak Bank Sumut menjelaskan kredit macet tersebut terjadi sejak kapan dan siapa saja debiturnya. Sebab, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan kredit macet, seperti krisis ekonomi global yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat yang berakibat turunnya omset usaha dan pada akhirnya membuat kemampuan debitur untuk membayar kewajiban bunga dan pokok kredit menurun.
Kedua, kebijakan perbankan mempertahankan suku bunga kredit tinggi di tengah-tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil, ketidakhati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Hal ini bisa terjadi akibat beberapa hal seperti kualitas SDM di sektor kredit ini rendah sehingga tidak mampu untuk melakukan penilaian kelayakan kredit yang diawali oleh proses verifikasi, analisa, persetujuan dan monitoring kredit.
Lalu, apakah pemberian kredit ini ada intervensi dari pihak luar (credit top down) atau apakah ada kemungkinan pemufakatan jahat (fraud) antara calon debitur dan pihak bank dan selanjutnya kreditnya fiktif. Keempat yaitu kebijakan BI sebagai otoritas moneter.
Selain larinya para debitur dari tanggung jawab menyelesaikan kredit macet, persoalan lain yang harus ditanggung oleh Bank Sumut, mencuatnya isu write off juga membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank sumut.
"Ini bisa menimbulkan rush pada bank tersebut. Terjadinya rush akan mengakibatkan terjadinya kerugian yang sangat besar bagi bank yang akan berdampak kepada kerugian pemegang saham dalam hal ini Pemprovsu dan Pemkab/Pemko," demikian Sutrisno.
[wah]