Gagasan memberi paspor hitam kepada anggota DPR dipersoalkan.
Dewan Pakar Hubungan Internasional Seknas Jokowi, Helmy Fauzi menerangkan, dalam tradisi diplomasi antar negara-negara (G to G) tidak bisa semua orang melakukna tugas diplomasi.
"Yang dibawa adalah kepentingan negara, bukan kepentingan partai atau kepentingan sekelompok di legislatif. Itulah mengapa, pemberian paspor hitam tidak boleh sembarangan," tegasnya, Jumat, (12/2).
Pemegang paspor hitam adalah wakil negara yang sudah diatur melalui peraturan UU ataupun hak penuh penunjukan presiden.
Lebih lanjut Helmy menuturkan, instrumen hukum hubungan diplomasi internasional bukan saja produk kebijakan dalam negeri namun juga konvensi internasional yang sudah menjadi kesepakatan negara-negara di dunia. Dalam Konvensi Wina 1961 yang mengatur soal diplomatik, tidak menyebutkan anggota legislatif sebagai aktor pelaku diplomasi.
Fernando Manulang selaku pengurus harian Seknas Jokowi melihat ada niat "hitam" di balik gagasan itu.
"Paspor hitam jangan dilihat untuk hebat-hebatan, itu adalah dokumen resmi negara sebagai tiket diplomasi," ujar Fernando.
Intinya, jelas Fernando, pihaknya tidak melihat urgensi pemberian paspor hitam untuk anggota dewan karena itu justru merusak pola diplomasi yang sudah ditugaskan presiden melalui duta-duta besar RI.
"Bisa jadi, permintaan ini adalah kepentingan kelompok 'hitam' di DPR agar semakin mudah melakukan transaksi di luar negeri," tengarainya.
Fernando menegaskan, sebagai rakyat yang berteguh pada agenda 'Revolusi Mental' haruslah sangat cermat dengan isu-isu seperti ini.
"Janganlah yang hitam semakin hitam," tegas Fernando.
Wacana paspor hitam mengemuka dalam rapat tertutup antara Komisi I DPR dengan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada Rabu (10/2) lalu.
[wid]