Presiden Joko Widodo kembali didesak untuk segera membatalkan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Jangan sampai konsorsium BUMN-BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut rugi besar dan harus tutup akibat tidak sanggup membayar utang biaya pembangunannya," ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono kepada redaksi, Kamis (4/2).
Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dikerjakan oleh PT Kereta Api Cepat Indonesia-China (KCIC), perusahaan patungan bentukan kerjasama konsorsium empat BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan konsorsium perusahaan China, China Railway International (CRI).
Proyek kereta cepat bakal menelan investasi 5,5 miliar dolar AS atau setara 80 triliun rupiah dengan porsi pinjaman 75% dan ekuitas 25%. Fasilitas pinjaman diperoleh dari China Development Bank (CBD). PT PSBI sendiri menguasai 60% saham PT KCIC, sedangkan CRI menggenggam 40%.
Arief mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sangat tidak ekonomis dan hanya akan menambah utang luar negeri, yang bisa membuat cadangan devisa negara tergerus dan nilai tukar rupiah semakin terperosok.
"Sudah biaya proyeknya sangat mahal dan diduga kuat terjadi mark up untuk kepentingan mafia rente, bisa saja nanti material-material untuk pembangunan keretanya bukan kualitas nomor satu tetapi material second hand dari China," ucap Arief.
Arief meyakini jika diteruskan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan bernasib sama dengan proyek pembangunan listrik 10.000 megawatt yang didanai pinjaman Bank Exim China di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau pengadaan armada busway dari China yang terbukti tidak handal dan sering terbakar.
Proyek pembangunan listrik 10.000 megawatt direncanakan selesai lima tahun di akhir pemerintahan SBY-JK, namun hingga masa pemerintahan SBY bersama Budiono berakhir tahun 2014 proyek hasil Fast Track Programme (FTP) tahap I itu hanya mampu diselesaikan 8.500 MW dan sisanya diharapkan selesai 2016.
Namun, realiability (keandalan) proyek tersebut tidak maksimal, hanya sekitar 55% hingga 60% akibat banyak pembangkit yang rusak tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pemerintah China. Malah sialnya, kata Arief, banyak pembangkit yang dibangun dari pembangkit yang second hand dari China serta syarat dengan mark up.
Akibatnya PLN dirugikan triliunan rupiah karena harus menggantinya dengan genset-genset berbahan bakar minyak. Utang pemerintah terhadap pemerintah China terus bertambah, dan masyarakat juga ikut dirugikan dengan harga Tarif Dasar Listrik yang setiap tahunnya terus naik.
"Pola-pola penawaran kerjasama pembangunan infrastruktur dari China sekalipun tidak mengunakan APBN, terdengar manis di depan namun pahit di belakangnya. Ini harus menjadi pelajaran. Sudah seharusnya Presiden Jokowi berpikir ulang terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung," demikian Arief.[dem]