Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tak bisa diteruskan. Pasalnya, proyek senilai Rp 79 triiliun itu belum memenuhi prasyarat sebagaimana disebutkan Pasal 32 UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, yakni perlu adanya kewajiban memiliki izin usaha dan operasi sarana perkeretaapian bagi penyelenggara.
"Keduanya diperlukan untuk menjamin bahwa proyek kereta cepat tidak akan menjadi beban pemerintah Indonesia seandainya berhenti di tengah jalan. Tetapi, justru hal ini menjadi polemik lagi ketika kita perhatikan adanya inskonsistensi dari pemerintah sebagaimana tertuang dalam Perpres 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional," kata Ketua Departemen Hukum dan HAM PP KAMMI Irawan Malebra, Minggu (31/1).
Di dalam Perpres itu disebutkan negara dapat menjamin proyek strategis nasional. Menurut Irawan, hal itu menimbulkan konflik norma hukum dengan Perpres 107 tahun 2016 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat yang didalamnya tidak menyebutkan ada jaminan negara maupun dana APBN.
Oleh karenanya menurut dia, menjadi keliru alasan awal Menteri Rini Soemarno menggandeng PT KCIC karena tanpa jaminan. Kemudian, setelah keluar Perpes 23 tahun 2016, PT KCIC meminta jaminan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dituangkan dalam konsesi pengelolaan prasarana kereta cepat.
"Dari sana dapat diduga ada main serong antara pihak-pihak terkait proyek ini," singgungnya.
Atas pertimbangan ini Irawan sepakat jika proyek kereta cepat itu dihentikan sekarang juga demi menghindari masalah yang akan timbul di masa depan.
"Sudah terlihat jelas kok pihak PT KCIC sudah memasang kuda-kuda dan pesimis proyek ini dapat selesai dengan baik. Mari cukupkan dominasi Tiongkok dalam ikut campur lebih dalam urusan vital rumah tangga negeri ini," tutupnya.
[dem]