Tim 10 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta kembali menagih janji Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly soal Surat Keputusan pengesahan pengurus kubu Ketua Umum Djan Faridz, sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015.
Sekjen PPP versi Muktamar Jakarta Dimyati Natakusumah mengatakan, setelah lebih dari dua kali mendatangi Kemenkumham dan melakukan pertemuan dengan Kasubdit Partai Politik Baroto diperoleh informasi bahwa semua syarat administrasi pendaftaran PPP sudah lengkap. Tinggal menunggu disposisi dari Menteri Yasonna untuk mengesahkan SK kepengurusan.
"Kita berharap dalam waktu dekat ini Menkumham Yasonna Laoly segera mengesahkan kepengurusan DPP PPP sesuai dengan putusan Mahkamah Agung," jelasnya kepada redaksi, Jumat (22/1).
Menurut Dimyati, jika Menkumham tidak segera menepati janjinya mengeluarkan SK atas kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta, maka pihaknya akan mengambil langkah selanjutnya termasuk kemungkinan menempuh jalur hukum.
"Karena Menkumham telah melakukan contempt of court dengan tidak menindaklanjuti amar putusan Mahkamah Agung," ucapnya.
Dia menjelaskan, amar putusan MA dimana PPP hasil Muktamar Jakarta yang sah adalah putusan yang bersifat wajib dan mengikat semuanya, baik pemerintah maupun kedua kubu di PPP.
"Siapapun yang tidak melaksakanakan putusan MA sama saja dengan melakukan perbuatan melanggar hukum yakni contempt of court," ujar Dimyati.
Dimyati menilai, kelompok yang mendorong dilakukannya Muktamar mengincar posisi ketua umum atau ingin menjadi pengurus dan sebagainya. Pihaknya mempersilahkan saja menempati posisi jabatan struktural di PPP, namun hal yang perlu dilakukan adalah mematuhi lebih dulu putusan MA, baru melaksanakan Muktamar.
"Dorongan terhadap adanya mukmatar islah adalah bagian dari tipu muslihat untuk tidak menjalankan isi putusan MA, janganlah kita melakukan perbuatan hukum," katanya.
Dia menambahkan, jika Menkumham menolak putusan MA yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap maka Menteri Yasonna sudah melecehkan hukum. Dia pun menyesalkan jika itu terjadi di era demokrasi saat ini di mana hukum sebagai panglima.
"Demokrasi tanpa ada penegakan hukum adalah anarki. Hal itulah yang sekarang sedang dipertontonkan oleh Menteri Yasonna," tegas Dimyati.
Seperti diketahui, dalam putusan Mahkamah Agung nomor 504K/TUN/2015, Majelis Hakim Agung yang diketuai Imam Soebechi mengabulkan seluruh gugatan permohonannya. Pada halaman 48 poin 11 putusan MA tertanggal 20 Oktober 2015. Pihaknya mencantumkan pengurus PPP yang sah berdasar merupakan hasil Muktamar Jakarta dengan Ketua Umum Djan Faridz.
Majelis MA pun membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor M.HH-07.AH.11.01 tahun 2014, tanggal 28 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP. Mewajibakan tergugat mencabut SK Menkumham tersebut.
Sementara poin 11 halaman 48 putusan MA tersebut menyebutkan 'bahwa penyelenggaraan Muktamar VIII PPP yang ditetapkan tanggal 30 Oktober 2014 sampai 2 November 2014 di Hotel Sahid, Jakarta tersebut diatas telah dilaksanakan dengan baik sesuai AD/ART PPP hasil Muktamar VII 2011 di Bandung sehingga terbentuk kepengurusan DPP PPP yang baru yang dipimpin Djan Faridz sebagai Ketua Umum sampai saat ini sesuai putusan Mahkamah Partai Nomor 49/PIP/MP-DPP.PPP/2014, tanggal 11 Oktober 2014 yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) dan (2) UU tentan partai politik.
Penyelesaian perselisihan pengurus DPP PPP dengan tanpa intervensi atau campur tangan dari pihak manapun sebagai satu-satunya partai Islam berhaluan Ahli Sunnah Waljamaah di Indonesia yang taat undang-undang dan hukum yang berlaku.
[wah]