Perkara-perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) yang punya selisih suara lebih dari 2 persen seharusnya tidak boleh ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebab, kata pakar tata negara, Margarito Kamis, pengajuan perkara PHPKada yang selisih suaranya di atas 2 persen bertentangan dengan Pasal 158 UU Pilkada.
"Jadi kalau mau bicara hukum positif, MK tidak punya pilihan lain, menerima atau menolak perkara. Kalau melihat ini, maka perkara-perkara yang selisih suara melebihi 2 persen atau bertentangan (dengan UU Pilkada) mesti ditolak," kata Margarito kepada wartawan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (7/1).
Margarito mengatakan, meski Pasal 158 UU Pilkada terkesan tidak masuk akal, tapi itu sudah menjadi hukum yang berlaku sekarang. Dia tidak melihat ada kemungkinkan MK mengesampingkan pasal itu.
"Itu sudah terang benderang. Lain halnya kalau tidak ada tafsirnya," tegas Margartio
Bagi sebagian orang, kata Margarito, aturan itu memang menyakitkan. Namun, tidak ada pilihan lain lagi bagi MK selain melaksanakan ketentuan Pasal 158 itu.
"Tidak ada pihak yang menguji uji materi pasal itu jauh sebelum Pilkada serentak berlangsung. Karenanya, yang terbaik saat ini adalah menerima apapun putusan MK pada 18 Januari nanti dengan besar hati berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada itu,"demikian Margarito.
Pandangan Margarito ini berlawanan dengan sesama pakar hukum tata negara, Rafly Harun. Refly menilai MK bisa menabrak aturan tersebut. Seperti yang pernah digariskan MK era Mahfud MD, yaitu demi keadilan subtantif. Ia mengatakan, kalau dalil pemohon kuat dan bisa berpengaruh signikan pada hasil, maka pembatsan Pasal 158 harusnya diterobos.
[ald]