Data terbaru menyebutkan sudah 31 balita di hamparan Lembah Baliem, Papua, tewas misterius. Awalnya balita yang meninggal itu mengalami gejala panas, demam, kejang hingga tak bernafas lagi.
Kabar ini mengundang prihatin banyak kalangan, tak terkecuali pemerhati tambang di Indonesia, Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman).
Data Jaman tahun 2011 menunjukkan bahwa selama 48 tahun beroperasi, Freeport meraup untung 12 juta dolar AS per harinya dari pengelolaan tambang emas dan tembaga di Papua.
"Bila hasil itu dipakai untuk beli obat diare dan demam, justru anak-anak generasi Papua tidak sekarat seperti yang terjadi di Nduga, wilayah Pegunungan tengah Pulau Papua," tegas Arkilaus Baho dari Jaman melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (26/11).
Sementara negosiasi utama dari Freeport kala itu dengan rezim Orde Baru adalah perusahaan hadir untuk menopang pembangunan di negeri ini. Tapi nyatanya, ulas Arkilaus, Freeport pusat di Amerika penyokong 15 persen dari total APBN Amerika.
Tak mengherankan, kata dia, karena watak sejati kapitalisme adalah nilai lebih. Ini artinya harus ada keuntungan yang didapat dari sebuah usaha pengelolan aset SDA. Sementara watak sejati birokrat neoliberal di Papua dan Indonesia, sibuk memburu rente dari hasil eksploitasi.
Kepentingan perusahaan pun dianggap lebih mulia dilayani ketimbang penderitaan masyarakat lokal. Ironisnya lagi, menurut dia, pejabat neolib dari pusat hingga daerah cenderung melimpahkan wewenangnya kepada pemodal yang datang.
"Kesejahteraan rakyat diurus perusahaan melalui CSR. Kesehatan masyarakat diurus melalui dana utang luar negeri dari Bank Dunia, IMF atau negara pendonor lainnya," paparnya.
Akibatnya, mulai dari atas hingga ke bawah, pejabat negara seakan seperti tim pemadam kebakaran yang mau terjun bila ada kasus.
"Kalau tidak ada, mereka santai saja dengan mobil plat merah, duduk di sofa mewah, tur kemana saja seenaknya," sindirnya.
Ia mengingatkan, pemerintah dan pemerintah daerah diberi mandat untuk menyejahterakan rakyat. Ini termasuk wajib menyembuhkan rakyat bila ada yang sakit, memberi makan kepada janda dan fakir miskin.
"Papua ada perusahaan penghasil uang banyak tapi puluhan anak meninggal lantaran tidak mendapat layanan kesehatan yang layak," sesalnya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah pusat harus tegas untuk tidak melanjutkan konsensi Freeport. Sebab puluhan tahun perusahaan asal Amrik itu beroperasi tidak ada manfaat yang diperoleh masyarakat Papua.
Selanjutnya, Gubernur Papua dan anak buahnya Kadinkes harus meletakkan jabatan sebab berkali-kali daerah seputar wilayah administratif Papua kerap terjadi kelaparan, kekurangan pangan tanpa upaya yang baik dari pemerintah setempat untuk menanggulangi bencana tersebut.
"Meletakkan jabatan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat Papua dan negara, akibat ketidakseriusan menjalakan pelayanan yang layak kepada warga Papua sehingga puluhan generasi meninggal akibat diare, demam dan panas dingin serta muntah muntah," pintanya.
[wid]