Berita

Hukum

PDIP: Kiblat KPK Perlu Diluruskan Agar Tak Jadi Manusia Setengah Dewa

SELASA, 13 OKTOBER 2015 | 01:34 WIB | LAPORAN:

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan semata-mata untuk meluruskan kiblat lembaga antirasuah agar sesuai dengan amanat konstitusi.

Pasalnya kewenangan KPK dalam melaksanakan tugasnya melampaui konstitusi dan UU seperti tak dibutuhkan lagi.
Akibatnya, oknum-oknum penegak hukum di lembaga  itu dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi seperti  manusia setengah dewa.

Demikian ditegaskan Politisi PDI Perjuangan Said Abdullah kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/10).

Demikian ditegaskan Politisi PDI Perjuangan Said Abdullah kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/10).

"Oknum-oknum di KPK menjadi manusia setengah dewa. Jadi kiblat KPK harus diluruskan," ujarnya.

Dia juga menegaskan revisi undang-undang tidak akan membubarkan KPK seperti dikhawatirkan sejumlah pihak sebab keberadaan KPK masih sangat dibutuhkan. Namun dia menambahkan tenggat waktu bagi KPK melaksanakan tugasnya harus dibatasi.

"Bagaimanapun KPK merupakan lembaga ad hoc, yang sesuai jati dirinya bersifat sementara," kata anggota DPR Komisi XI ini.

Said Abdullah yang juga Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR menganalogikan KPK bak sub-kontraktor yang mengerjakan proyek.

"Kalau kerjaannya molor terus, kan harus diberi tenggat waktu, kalau tidak kapan selesai proyek itu?  Kapan kontraktor utamanya (Polri dan Jaksa) bekerja? Nah, kalau kerjaan sub-kontraktor nggak kelar, bagaimana kontraktor utama bisa bekerja?" ujar Said dengan nada tanya.

Menurutnya, KPK sebenarnya katalis dari rasa muak  publik terhadap tingkah laku elit negeri ini yang bermental maling. Di sisi lain, drama pejabat negara terkena  Operasi Tangkap Tangan (OTT)  KPK yang ditayang di berbagai stasiun televisi telah menyihir publik.

Namun dari berbagai drama itu, kata Said Abdullah, masyarakat lupa bahwa KPK merupakan sebuah lembaga  didesain hanya  bersifat temporer, namun tak jelas sampai kapan tetap dipertahankan.

Ironisnya, reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan, yang diharapkan bisa melanjutkan tugas KPK tak sesuai dengan harapan. Akibatnya, perkara pun mulai bertumpuk dan menjadi lahan objekan  karena urutan perkara bisa turun naik.

"Kasus-kasus  remeh ditampilkan dipanggung, sementara penanganan kasus-kasus besar tak jelas arahnya. Akhirnya diambil jalan pintas KPK menampilkan  OTT dan drama penangkapan lainnya," kata Said lagi.

Situasi ini ujarnya membuat KPK tidak lagi berperilaku seperti lembaga negara tetapi seperti LSM yang sibuk beradvokasi dan memusuhi seluruh elemen di luar dirinya.

Orientasi yang tak jelas ini menurutnya, justru memberi ruang bagi orang-per orang di KPK untuk membangun kekuatan personal. Hal ini terlihat pada masa Abraham Samad.

Status tersangka bisa berumur 2 tahun sebelum diajukan ke muka sidang. Pemaksaan vonis mulai menimbulkan dissenting opinion di kalangan hakim.

"Penegakan hukum diduga dengan cara-cara yang melanggar hukum. Tersangka dulu bukti belakangan. Akibatnya, penegakan hukum menjadi alat politik," imbuh dia lagi.

Nah, atas dasar itu semua, Said Abdullah mengusulkan agar  mekanisme kerja KPK perlu dibenahi agar  tidak seperti pemadam kebakaran yang dipertontonkan selama ini dan  fokus kerjanya pun harus jelas. Dengan demikian, KPK ujarnya bisa bekerja efektif dan tidak menabrak prinsip-prinsip dasar hukum.

"Bagaimana agar langkah-langkah KPK  tidak memberikan dampak buruk pada kinerja pembangunan. Bagaimana membangun kultur anti korupsi secara fundamental. Bagaimana membuat sistem  kredibel dan akuntabel," tuturnya.

Semangat dan niat perubahan seperti itulah kata Said,  yang sedang diupayakan PDI Perjuangan walau dengan resiko menghadapi opini publik  dianggap seakan memusuhi KPK.

"Perubahan memang butuh kemauan dan kemampuan yang kadang beresiko menyakiti diri sendiri," demikian Said Abdullah.[dem]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya