PT Pupuk Indonesia (Persero) berharap pemerintah dapat memberikan harga gas yang terjangkau kepada industri petrokimia. Pasalnya, pertumbuhan industri masih sangat rendah.
"Industri Petrokimia tidak akan hidup karena marginnya tipis sekali. Harga gas yang dijual di dalam negeri masih di atas 7 dolar AS per MMBTU," kata Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Koeshartono saat ditemui Rakyat Merdeka, beberapa waktu lalu.
Sehingga dengan kisaran angka tersebut, kata dia, sulit untuk menarik investor masuk ke dalam negeri. Sedangkan harga gas di luar negeri hanya berkisar antara 3 sampai 4 US dolar per MMBTU.
Menurutnya, pemakaian bahan bakar gas di industri bisa diganti dengan alternatif bahan bakar lainnya, seperti batu bara. Sebab, bila gas dijadikan sebagai bahan baku, tidak tergantikan.
"Ke depan kami mau jadikan batubara sebagai bahan bakar pengganti gas untuk menekan cost. Batubara adalah pilihan logis karena lebih murah," terang Koeshartono.
Tapi sayangnya, lanjut Koeshartono, investasi yang dibutuhkan pun sangat mahal. Padahal, bila pemerintah tidak mengejar revenue, maka investasi di industri petrokimia akan sangat menarik didukung dengan rendahnya harga gas.
Ia mencontohkan, untuk mendirikan pabrik pupuk urea di Kalimantan Timur dengan kapasitas 1 juta ton urea per tahun, pihaknya membutuhkan investasi sekitar 700 sampai 800 juta dolar. "Sekarang bangun pabrik pupuk urea bisa sampai Rp 9 triliunan," imbuhnya.
Ia menambahkan, pada semester pertama 2015, perseroan mencatat pendapatan sebesar Rp 35 triliun atau separuh dari target hingga akhir tahun senilai Rp 70 triliun.
"Sepanjang tahun ini kami menargetkan pertumbuhan pendapatan mencapai 8,33 persen menjadi Rp 70 triliun dibanding pendapatan tahun lalu sebesar Rp 64,62 triliun," ungkapnya.
Selain itu, pihaknya juga menargetkan peningkatan kapasitas produksi menjadi 12,9 juta ton atau naik 35,07 persen dibanding capaian tahun lalu sebesar 9,55 juta ton.
"Penjualan pupuk tahun lalu sekitar 9 juta ton. Tahun ini kami targetkan meningkat, baik untuk
Public Service Obligation (PSO) menjadi 9,55 juta ton dan nonsubsidi 3-3,55 juta ton," kata Koeshartono.
Untuk kapasitas produksi tersebut, perseroan memperolehnya melalui 14 pabrik yang dikelola oleh 10 anak usaha yakni sebagian besar atau 70 persen penjualan masih berasal dari program PSO.
"Tahun ini PSO dari pemerintah mencapai Rp 28 triliun, sebagian besar atau 70 persen penjualan berasal dari PSO dan sisanya 30 persennya dari nonsubsidi," tandasnya. ***