. Kejaksaan Agung tidak bisa serta merta melakukan sita asset PT Indosat Mega Media (IM2) dalam perkara kerjasama penyelenggaraan 3G antara PT Indosat dan IM2 di frekuensi 2.1 GHz.
Pakar hukum pidana Universitas Pajajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita menyatakan, Kejaksaan Agung harus menunggu perkara tersebut berkekuatan hukum tetap (In Kracht) dan diputuskan setelah melalui Peninjauan Kembali (PK).
Romli menyebutkan, saat ini terdapat dua putusan kasasi yang bertolak belakang. Pertama, Putusan Mahkamah Agung Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang memutuskan mantan Dirut IM2 Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun, disertai denda sebesar Rp 300 juta dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun yang dibebankan kepada IM2.
Di sisi lain, terdapat putusan kasasi Mahkamah Agung lain dengan Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014 yang isinya menolak kasasi yang diajukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan.
Hal ini sejalan dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara 28 Januari 2014 yang sebelumnya juga telah menguatkan keputusan PTUN yang telah memutus tidak sah dan menggugurkan keputusan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun. Dengan putusan itu, putusan MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Alat bukti yang digunakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan tidak dapat digunakan.
Prof Romli mengatakan, putusan kasasi MA yang memperkuat PTUN serta menggugurkan kewenangan BPKP harus dihormati. Kejaksaan Agung harus menjaga marwah lembaga, KUHAP dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.
"Dalam pasal tersebut dicantumkan negara harus menjamin bagi setiap warga negara tentang kepastian hukum yang adil di muka hukum," kata Prof Romli di Jakarta, Selasa (30/6).
Dia jelaskan, kalau mau adil, Kejaksaan Agung harus memperhatikan amar TUN bahwa kerugian negara menjadi tidak jelas. "Dengan landasan kerugian negara tidak sah maka harus menunggu putusan PK turun. Karena mantan Dirut PT IM2 masih memiliki langkah hukum untuk mengajukan PK," tegas Prof Romli.
Bila Kejaksaan Agung memaksa melakukan eksekusi dan ternyata PK untuk PT IM2 menang, maka dapat digugat secara perdata. Dengan alasan Kejaksaan Agung melakukan penyitaan secara ilegal. "Jadi akan lebih bagus bila menunda eksekusi hingga putusan PK turun," kata Prof Romli.
Atas dasar hal ini, menurut Prof Romli, Kejaksaan Agung harus menunda untuk melakukan esksekusi sita asset dan uang pengganti dalam perkara tersebut.
Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Dian Simatupang secara terpisah menegaskan, karena PT IM2 sedang mengajukan PK ke Mahkamah Agung maka putusan tentang uang pengganti Rp1,3 triliun. Dengan demikian Kejaksaan Agung harus menunggu proses PK tersebut. "Kejaksaan Agung seharusnya menunggu PK sehingga belum In Kracht," jelasnya.
Penilaian tersebut mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) menjadi tidak terbatas. "Saat ini ada putusan MK tentang kasus pidana yang bisa mengajukan PK berkali-kali," jelasnya.
Dian menambahkan, Kejaksaan Agung juga harus memperhatikan putusan kasasi MA bahwa BPKP tidak berhak mengaudit PT IM2. Karena tidak berhak maka tuduhan merugikan negara mencapai Rp1,3 triliun menjadi tidak sah. Inilah yang menjadi dasar kenapa Kejaksaan Agung tidak bisa mengeksekusi uang pengganti tersebut," tegasnya.
[sam]