UNTUK menjadi muslim yang baik dan lurus, tidak harus menjadi orang Muhammadiyah. Namun sangat pantas untuk tahadduts bi al-ni’mat bila ada muslim Indonesia yang mengenal Muhammadiyah, dan lalu menjadi bagian di dalamnya. Menjadi Muhammadiyah, sebagaimana kehendak KH. Ahmad Dahlan, berarti sekuat tenaga, sungguh-sungguh, dan sepenuh hati menjadi pengikut Muhammad SAWW, yang di dalam ajaran Islam, merupakan manusia paling mulia di alam semesta.
Karena itu, menjadi Muhammadiyah sama saja dengan upaya mereguk ajaran Islam dari sumber mata airnya, bukan dari aliran sungai yang sudah bercampurbaur dengan limbah sejarah. Menjadi Muhammadiyah, adalah menjadikan Muhammad SAWW sebagai madzhab dan marja, serta mendobrak feodalisme dalam bentuk apapun, maupun fanatisme kepada siapapun.
Paling tidak, ada dua macam nikmat mengapa harus bangga menjadi Muhammadiyah. Nikmat pertama, Muhammadiyah digagas dan dilahirkan oleh seorang yang begitu tulus ikhlas mau menghidupkan ajaran Islam, yang saat itu redup oleh gelombang penindasan dari luar maupun berkarat karena kejumudan dari dalam. Dan bukti ketulusan KH Ahmad Dahlan, diantaranya tak mau menyematkan gerakannya kepada simbol dan nama apapun, selain kepada Kanjeng Rasul.
Nikmat kedua adalah nikmat genealogis dan epistemologis. Paham keagamaan Muhammadiyah, karena sekali lagi mau mereguk ajaran agama dari sumbernya, maka otomatis mendobrak sekat ideologis yang lahir dalam konteks sejarah tertentu dan melampaui batas pencerahan Islam di masa lalu.
Mungkin saja, rentetan terakhir kalimat ini, bagi sebagian orang terasa apologetik dan menyimpan benih penyakit fanatisme yang ditentang Muhammadiyah sendiri. Namun ada banyak dasar juga mengapa kebanggaan itu pantas ada dan layak dihidup-hidupkan lagi di tengah gelombang paham keagamaan yang kembali dibelenggu nostalgia masa silam dalam wujud ekstrem baru; Neo-Muktazilah dan Neo-Khawarij.
Neo-Muktazilah hadir dengan semangat relativisme kebenaran. Kelompok baru ini menolak kejumudan para ulama salaf ber-madzahab kufah, Basrah, Bagdad dan Madinah. Tapi mereka terjebak dalam kejumudan bentuk baru dengan mengadopsi begitu saja pemikiran Madzhab Andalusia dan Eropa pasca-Pencerahan. Mereka mengkritik Imam madzhab masa lalu tapi terjerumus dengan sikap taklid kepada realitas kekinian. Rasionalitas, yang pada mulanya dijadikan pijakan untuk memahami teks, sejarah teks dan hubunganya dengan konteks, menjadi isme-rasional yang menegasikan dimensi lain, bahkan menindas teks dengan semena-mena.
Sedangkan Neo-Khwarij lahir dengan bentuk-bentuk baru, meski menggunakan doktrin dan modal yang sama, yaitu
laa hukma illa Allah, yang dirumuskan begitu saja dari QS Al Maidah ayat 44, 45 dan 47. Neo-Khawarij sangat patuh kepada teks-teks formal al-Qur’an. Mereka hampir tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka mengambil hanya apa yang tersurat. Mereka merasa paling berpegang kepada al-Qur’an dan paling menjunjung tinggi syariat Islam hanya karena sudah mengutip sepotong ayat yang menunjang pendapat mereka. Tak jarang, mereka menggunakan ayat yang
khitab-nya orang kafir untuk ditujukan kepada saudaranya yang sesama muslim. Inilah
harakah al-takfir, yang wujud halusnya berkeliaran dimana-mana dengan mudah mengkafirkan orang Islam sendiri, dan wujud kasarnnya nampak dari gerakan, misalnya, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Kembali pada nikmat ber-Muhammadiyah. Kyai Dahlan bukan orang sembarangan. Meminjam gambaran ideal tokoh revolusioner Ali Syariati, Kyai Dahlan adalah sosok raushan fikr yang sejati. Kyai Dahlan bukan semata pemikir, melainkan pemikir yang mencerahkan dan membebaskan. Tidak heran bila namanya masuk dalam deretan utama penggagas gerakan modernisasi Islam di dunia.
Tentu saja, untuk menyerap ruh tajdid dari Kyai Dahlan tak mudah. Terutama bagi kader yang berjarak satu abad dari kehidupan Sang Pencerah. Maka dalam konteks ini, Kyai Dahlan tidak saja berada dalam posisi sebagai subyek sejarah pembaharuan, melainkan harus ditempatkan sebagai objek kajian.
Kyai Dahlan sudah menjadi "teks" yang harus dibaca. Dan membaca "teks hidup" seratus tahun lalu tentu bukan sesuatu yang mudah. Selain ada problem otentisitas, rentang waktu yang cukup panjang ini juga membuka ruang untuk sebuah kesalahpahaman.
Agar meminimalisir kesalahpahaman, salah satu metode yang digunakan untuk membaca dan memahami teks bernama Kyai Dahlan adalah dengan hermeneutika. Karena sifat dasar metode ini bukan ilmu alam yang bisa dijelaskan secara pasti (to ekleren), maka menafsirkan teks (verstehen) dengan cara ini membuka peluang hadirnya pembacaan yang beragam.
Untuk memahami Kyai Dahlan, menggunakan analisa Friederich Schleiermacher, seorang pembaca dan penafsir harus melakukan dua macam rekonstruksi; rekonstruksi obyektif-historis dan rekonstruksi subyektif-historis. Dengan rekonstruksi obyektif-historis, sebagai teks, sisi kehidupan Kyai Dahlan harus dibaca secara keseluruhan dan tidak sepotong-sepotong (atau dalam bahasa Ibnu Rusyd, al-washal ghair al-fashal).
Sementara dengan rekonstruksi subyektif-historis, sisi psikologis yang melatarbelakangi pikiran-pikiran Kyai Dahlan tak boleh dilewatkan. Dari satu halaman ke halaman lain dalam perjalanan hidup Kyai Dahlan harus dibaca bersamaan dengan realitas sosio-kultural yang dilaluinya. Inilah upaya mereproduksi Kyai Dahlan.
Dengan upaya ini, misalnya, Kyai Dahlan dihadirkan sebagai sosok yang tegas terhadap perilaku
bid’ah, takhayul dan
churapat (TBC). Maka para pembaca teks yang juga warga Muhammadiyah, akan merasa telah memperjuangkan apa yang diperjuangkan Kyai Dahlan dengan bersikap tegas terhadap ketiga perilaku di atas.
Lain lagi bila menggunakan kacamata Hans George Gadamer. Bagi Gadamer, rentang waktu yang cukup panjang antara permulaan abad 20 dengan abad 21 bukan menjadi persoalan dalam memahami teks. Menurut Gadamer, kesenjangan waktu tersebut justru bisa menjadi titik simpul yang mempertemukan antara satu horison pemahaman teks di satu waktu dengan horison teks di waktu yang lain. Dengan demikian, pembaca bisa membandingkan beberapa realitas sosial ketika Kyai Dahlan hidup dengan abad dunia maya. Inilah upaya memproduksi KH Ahmad Dahlan.
Dengan upaya ini, misalnya, pembaca yang juga warga Muhammadiyah tidak terfokus pada kolonialisme waktu itu. Sebab, perlawanan Kyai Dahlan bukan semata terhadap orang asing, tapi terhadap perilaku dzalim dan penindasan oleh siapapun. Maka pembaca yang hidup dalam kerangka nation-state, tentu akan mengkritik kebijakan pemerintah yang dzalim dan menindas rakyatnya sendiri, sebagai kristalisasi dari wujud
amar ma’ruf nahi munkar yang telah dicontohkan Kyai Dahlan.
Dengan pembacaan ini pula, maka sah-sah saja memproduksi makna baru dari TBC, yang secara substansial berarti ilusi, deviasi dan delusi yang menggerogoti keberagamaan dan kemanusiaan seseorang. TBC kini bisa berwujud dalam neoliberalisme, kapitalisme, dan matrealisme.
Dengan demikian, memproduksi KH Ahmad Dahlan berarti merekontekstualisasi dan mereaktualisasi gagasan dan pikiran-pikiran Kyai Dahlan.
Menarik dicatat, dalam upaya memahaminya, Kyai Dahlan tidak banyak menghasilkan karya tulis sebagaimana ulama zaman itu pada umumnya. Gagasan dan pikiran-pikiran Kyai Dahlan baru dituliskan dan disistematiskan oleh generasi sesudahnya.
Akibat minimnya buah pikiran Kyai Dahlan dalam bentuk tulisan ini, yang juga karena memang memilih "lebih banyak bekerja daripada bicara", akhirnya membuka lubang penafsiran terhadap gagasan Kyai Dahlan yang begitu besar. Namun demikian, ada semacam benang merah semangat Kyai Dahlan yang merasuk masuk ke dalam alam bawah sadar setiap warga Muhammadiyah, dalam satu tarikan nafas yang sama; amar ma’ruf nahi munkar.
Di sisi lain, karena minimnya karya Kyai Dahlan, ini memberi dampak positif. Seakan-akan Kyai Dahlan tak mau pikirannya itu diberhalakan di kemudian hari. Ia seakan mempersilakan generasi berikutnya untuk merekonstuksi genealogi tajdid Muhammadiyah. Dan inilah nikmat kedua ber-Muhammadiyah.
Tajid Muhammadiyah seringkali dihubungkan dengan gerakan modernisasi Islam di belahan dunia lain. Lebih-lebih, Dahlan remaja sudah membaca majalah
al-Urwatul Wutsqa dan
Al Manar.
al-Urwatul Wutsqa dikelola oleh dua pembaharu muslim, yaitu Jamaluddin al-Asadabadi dan Muhammad Abduh. Sementara al-Manar diterbitkan oleh murid Abduh sendiri, yaitu Muhammad Rasyid Ridha.
Hubungan intelektual lewat bacaan ini membuat Muhammadiyah sering dinilai telah mengambil semangat pembaharuan Islam sebagaimana dikumandangakan Abduh. Namun demikian, Abduh bukan satu-satunya inspirasi. Giora Eliraz bahkan menyimpulkan bila di kemudian hari Muhammadiyah lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran sahabat dan murid Abduh, yaitu Sayyid Rasyid Ridho yang berkarakter salaf. Bahkan lagi Muhammadiyah, kata Giora Eliraz dalam "Islam in Indonesia",
has adopted a position of "neo-salafism" including an ideological emphasis on a return to pristine Islam and strict scripturalism.
Bila mengikuti alur penilaian Giora Eliraz, maka Muhammadiyah melanjutkan tradisi pembaruan kaum skripturalis. Dan ini tak mengherankan bila ditarik ke dalam jargon
al-ruju’ ila Quran wa al-Sunnah. Pembaharuan ini bisa ditarik ke Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan hingga ke abad 14, yaitu kepada Ibnu Taimiyah al Harrani, yang dikenal sebagai Syaikh al-Islam. Ibnu Taimiyah juga semasa hidupnya dikenal gencar memerangi penyakit umat, yang kemudian dipopulerkan Muhammadiyah sebagai TBC. Nalar pikir Ibnu Taymiyah sendiri mengikuti nalar Imam Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali) yang begitu tekstual.
Untuk memahami peta dan posisi nalar tekstualis dalam pemikiran keagaamaan, menarik meminjam analisa dari Muhammad Abid al-Jabiri. Al Jabiri menyebut kaum tekstualis-eksplanatif sebagai pengguna nalar bayani, yang berbeda dengan burhani maupun irfani. Pengguna nalar bayani selalu menekankan pada penjelasan nash. Pendukung utama nalar bayani adalah para ahli fikih. Mengkristal di masa
tadwin (era kodifikasi al- Qur’an), nalar bayan difahami sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawaanin tafsir al-khithabi) dan syarat- syarat memproduksi diskursus (Syuruut intaj al-khitab).
Dalam hal ini, Imam Syafi’i misalnya, salah seorang ulama madzhab fikih, dan sering dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, mengungkapkan (mengukuhkan?) metodologi tekstual-ekspalanatif dalam lima tingkatan. 1) Teks al- Qur’an yang tidak memerlukan penjelasan lanjut. 2) Teks al- Qur’an yang beberapa bagiannya masih global dan membutuhkan penjelasan teks sunnah.3) Teks al- Qur’an yang keseluruhannya masih global sehingga membutuhkan penjelasan teks sunnah. 4)Teks sunnah sebagai penjelas dari sesuatu yang tidak terdapat dalam teks al- Qur’an. 5) Teks ijtihad yang dilakukan dengan analogi (qiyas) dan induksi tematis (istiqra) atas sesuatu yang tidak terdapat dalam teks al- Qur’an maupun sunnah.
Kata Al-Jabiri, para pemikir muslim pengguna nalar bayani di lingkaran ahli fikih mengikuti pola pikir yang dibangun Imam Syafi’i, dan kemudian memahami nash Al-Quran dan As-Sunnah dengan berpegang kepada redaksi teks. Sementara akal, bagi para tekstualis hanya digunakan sebagi pengaman otoritas teks tersebut.
Tentu saja, meski sama-sama merujuk kepada al-Quran dan Sunnah dalam kerangka tekstual-eksplanatif, di kalangan ahli fikih juga terjadi perdebatan sengit dalam hal teks ijtihad. Tawaran qiyas Imam Syafi’i di atas misalnya, disertai dengan serangan kepada Imam Abu Hanifah yang menggunakan metode ihtihsan. Kata Imam Syafi’i, man ihtasana fa qad syara. Sementara itu, Imam Syafi’i juga mendapat serangan tajam dari Ibnu Hazm, pemikir madzhab Dzahiri, yang secara khusus menulis kitab Ibthal al Qiyas.
Bila disimpulkan secara general, di antara empat imam madzhab fikih, aliran yang paling tekstual adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan lalu Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad disebut paling tekstual karena bagi Imam Ahmad, agama adalah al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, serta riwayat dari orang-orang terpercaya yang sampai kepada Rasulullah SAW. Imam Ahmad juga dikenal keras menolak qiyas, serta mengecam pelaku bid’ah. Imam Ahmad, belakangan menjadi rujukan kelompok salaf.
Dalam konteks inilah dipahami kesimpulan Giora Eliraz, bila Muhammadiyah sangat dipengaruhi tradisi salaf, sehingga kerangka dakwahnya adalah al-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah. Dan secara faktual, di tingkat akar rumput di beberapa daerah, nalar pikir warga Muhammadiyah, memang sangat khas dengan karakter Hanbalian.
Tentu saja menyimpulkan nalar pikir Muhammadiyah hanya dipengaruhi tradisi Hanbalian melalui jalur Rasyid Ridha, terbantahkan sendiri dengan teori tradisional, yang selalu melibatkan sosok Abduh, yang tak lain juga adalah guru dan sahabat Ridha. Kata Harun Nasution, Abduh adalah seorang pemikir ultra-rasional, atau lebih Mu’tazilah dari Mu’tazilah sendiri. Disebut lebih Mu’tazilah karena selama ini aliran rasional Islam sering direpresentasikan dengan kaum Mu’tazilah.
Menarik, bila menggunakan analisa Al-Jabiri lagi, yang juga menyinggung soal rasionalisme Islam. Dalam
Bunyah al-Aql al-‘Arabi, Al-Jabiri menjelaskan tentang tiga episteme pemikiran Islam, yang salah satunya, yaitu bayani, sudah dijelaskan di awal. Epistem lain yaitu nalar burhani dan irfani. Bila nalar bayani digunakan para fakih, maka nalar burhani menjadi nalar kaum filosof-rasionalis, sementara nalar irfani menjadi nalar kaum sufistik.
Ketiga nalar ini, dalam sejarahnya, tidak selalu berjalan harmonis, melainkan saling menegasikan satu sama lain. Sufi Imam Ghazali misalnya, dalam al-Tahafut al-Falasifah mengafirkan Ibnu Sina dalam tiga hal. Sementara filosof-fakih Ibnu Rusyd dalam al-Tahafut al-Tafahut menyebut Imam Ghazali sebagai al-baththaaluun, yang derajatnya lebih rendah daripada jahil. Lebih dari itu, al-Hallaj, seorang sufi, harus menerima hukuman mati di tiang gantungan karena ajaran-ajarannya dinilai sesat.
Kata al-Jabiri, untuk meminimalisir perbedaan dan benturan, maka perlu keterbukan beragam epistemologi untuk mencerahkan pemikiran keislaman. Al Jabiri pun melirik dan menawarkan Ibnu Rusyd dan Ibnu Hazm sebagai sosok yang idealis.
Ibnu Rusyd merupakan ahli fikih penulis
Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, yang mengikuti madzhab Maliki. Di saat yang sama, Ibnu Rusyd juga seorang filosof, yang pikiran rasionalismenya, kata Ahmad Suhelmi, sangat mempengaruhi Barat, wa bil khusus mempengaruhi tradisi filsafat skolatisik dan pemikiran Thomas Aquinas. Bagi Ibnu Ruysd, rasionalisme merupakan instumen penting dalam menemukan kebenaran. Dan, penulis buku
Tahafut al-Tahafut ini yakin, rasio, akal dan filsafat bisa sejalan dengan Islam.
Sementra Ibnu Hazm adalah pendekar madzhab Dzahiri. Dia sangat literalis, yang bahkan ultra-literalis. Dia lebih literal dibanding Imam Ahmad bin Hanbal, serta menyerang metode qiyas tanpa ampun. Dengan kritik tajam dan mematikan, Ibnu Hazm juga menyerang rasionalisme ala mu’tazilah. Namun, sebagaimana disebutkan Al Jabiri, literalis Ibnu Hazm ini bukan literalis sembarangan. Ia bahkan menggunakan logika dan rasionalitas bahasa untuk menyerang pengguna nalar bayani lain. Ibnu Hazm bisa dikatakan sebagai pemikir rasionalisme tekstualis (ma’qul-al-lafdzi). Rasional namun dengan tetap dalam paradigma teks, atau tekstualis namun menggunakan dasar rasionalitas.
Dari gambaran peta pemikiran di atas, paling tidak bisa ditarik beberapa garis genealogis dan epistemologis. Pertama dari garis Ridho, lalu Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu Ibnu Taimyah hingga ke Imam Ahmad bin Hanbal. Sementara dari garis Abduh, merujuk kepada rasionalisme Islam. Sementara itu, bila menggunakan alat ukur Al Jabiri, dengan benang merah episteme yang sama, melainkan di belahan bumi yang berbeda, puncak rasionalisme itu ada pada Ibnu Rusyd dan puncak tekstualisme rasional ada dalam pikiran Ibnu Hazm, yang kitab Al Muhalla-nya sering digunakan sebagai salah satu sumber rujukan.
Semua nama-nama besar itu merupakan simbol dari puncak pencerahan Islam. Dan menariknya, Muhammadiyah bisa menyerap semua inspirasi pencerahan Islam secara bersamaan, tanpa harus taklid kepada salah satu pemikiran yang juga lahir dari proses sejarah dan konteks sosial tertentu. Lebih-lebih taklid merupakan salah satu sumber kejumudan, yang sangat ditentang Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak tunduk pada siapa yang berpendapat, tapi mengukur dulu (tarjih), apakah pendapatnya itu benar atau tidak. Tak heran bila pemikiran pemikiran Muhammadiyah sangat dinamis, hidup sesuai dengan kebutuhan zaman.
Di antara bukti betapa Muhammadiyah melampaui pencerahan Islam itu, adalah dengan melihat misalnya prinsip-prinsip Manhaj Tarjih Muhammadiyah;
al mura’ah (konservasi),
al-tahditsi (inovatif) dan
al-ibda (kreasi). Kerangka Manhaj Tarjih pun tak terjebak seperti masa lalu yang menegasikan antar-epistem, melainkan menggabungkan-menghubungkan ketiga nalar, yaitu bayani, burhani dan irfani.
Wallahu a’lam. [***]
*Penulis adalah kader Muhammadiyah dan Wapimred Kantor Berita Politik RMOL. Tulisan ini sudah dimuat dalam buku Muhammadiyah Ahmad Dahlan; Menemukan Kembali Otentisitas Gerakan Muhammadiyah, yang diterbitkan oleh STIEAD Press, Juni 2015. Tulisan ini sama sekali tidak mencerminkan kebijakan redaksi.