Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menolak tegas biodiesel menjadi objek pungutan CPO Fund. Sebab, pasar ekspor biodiesel banyak menghadapi masalah seperti di Amerika Serikat yang terdapat hambatan perdagangan seperti RFSS.
Ketua Umum APROBI, MP Tumanggor menegaskan, pungutan CPO Fund untuk biodiesel sebesar 20 dolar AS per ton justru mengakibatkan marjin eksportir semakin kecil bahkan tidak ada untung.
"Kalau pemerintah tidak memperhatikan ini akan berakibat ekspor biodiesel bisa stop. Dari kapasitas terpasang 5,6 juta ton sekitar tiga juta ton untuk domestik. Dan sisanya 2,6 ditujukan pasar ekspor," jelasnya melalui siaran pers, Rabu (17/6).
Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan kebutuhan domestik dan volume ekspor. Jika, ekspor biodiesel dikenakan pungutan CPO Fund akan berdampak kepada hilangnya potensi pasar di Eropa dan Amerika.
"Kalau begini yang diuntungkan negara lain yaitu Malaysia. Artinya, investasi hilir sawit akan sia-sia dan merugikan investasi yang sudah ditanam," tukasnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menyebutkan pengembangan industri hilir sawit dengan nilai investasi 2,7 miliar dolar AS mulai 2012 akan menjadi sia-sia apabila pungutan CPO Fund kepada produk turunan jadi diterapkan.
Besaran tarif pungutan bervariasi sebagai contoh pungutan 20 dolar AS per ton kepada produk hilir RBD Palm Kernel Olein (PKOL), RBD Palm Kernel Stearin (PKS), dan RBD Olein kemasan serta bermerek. Pungutan ekspor sebesar 30 dolar AS per ton dibebankan kepada produk
Splitt Fatty Acid dari Crude Oils.
Pada awalnya, kata Sahat Sinaga, asosiasi mendukung kebijakan CPO Fund sebesar 50 dolar per ton kepada CPO dan 30 dolar per ton untuk olein. Sebab, dana CPO Fund ini akan kembali digunakan untuk kepentingan membangun industri sawit. Tetapi dengan keputusan baru mengenai pungutan produk hilir, asosiasinya mengajukan protes kepada pemerintah.
Menurut Sahat penerapan CPO Fund dan bea keluar kepada industri hilir kelapa sawit yang digulirkan pemerintah lebih didominasi nafsu untuk mendapatkan pungutan besar dari ekspor produk sawit tetapi tidak memperhatikan persaingan pasar global dan kapasitas terpasang industri hilir
.[wid]