Dibukanya pasar bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi kepada Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum (BU-PIUNU) selain Pertamina, telah mengakibatkan terjadinya persaingan yang ketat dalam menentukan harga jual.
BU-PIUNU sendiri merupakan badan usaha yang menjalankan bisnis minyak/BBM yang boleh mengimpor dan mengekspor BBM serta harus memiliki sarana/infrastruktur seperti storage tank yang dimiliki AKR, Petronas, Shell, Total, dan Kutilang Paksi Mas.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan menilai, perlu ada pengawasan terhadap kewajiban BU-PIUNU dalam Pembayaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB).
"Lemahnya pengawasan atas pungutan PBB-KB pada BU-PIUNU selain Pertamina, membuat harga jual BBM Non PSO mereka menjadi lebih murah dibandingkan harga Pertamina," jelas dia.
Jika dibiarkan, menurutnya bisa berdampak terhadap perolehan pendapatan dan keuntungan Pertamina sekaligus berdampak terhadap pemasukan negara,
Pemerintah daerah, sebagai pihak yang diberi hak mendapatkan dan kewenangan memungut PBB-KB juga dinilainya masih belum maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap pungutan PBB-KB pada BU-PIUNU.
"Sebagai BUMN milik negara, Pertamina pasti melakukan pembayaran PBB-KB tersebut pada saat BBM dtebus oleh mitranya seperti SPBU dan agen. Tapi karena pengawasan lemah, BU-PIUNU non BUMN banyak yang nggak bayar," ketus Mamit.
Karena itu, kata dia, tidak aneh jika BU-PIUNU non BUMN bisa jual BBM lebih murah 5 persen sampai dengan 10 persen ketimbang BU-PIUNU BUMN karena tidak bayar PBB-KB tersebut.
[wid]