KAMIS petang dua hari yang lalu, saya terima SMS Pak Dahlan. Isinya singkat, seperti biasa kalau dia SMS. Apa kabar MG?
Pak Dahlan memanggil saya MG, inisial saya sebagai wartawan. Saya menjawab SMS itu dengan langsung telepon. Bos sehat kan?
Saya memang biasa memanggil Pak Dahlan bos, sejak saya diterima sebagai wartawan Jawa Pos tahun 84, dan saat itu Pak Dahlan sebagai redaktur pelaksana (redpel).
Pak Dahlan menjawab: sehat lah. Kangen bos, sudah sekian bulan cuma ketemu lewat tulisannya dari Amerika. "Bos sekarang dimana?" tanya saya.
Saya benar-benar tidak tahu tahu Kamis sore itu, Pak Dahlan dimana. "Lho, saya kan baru saja diperiksa 8 jam di Kejaksaan," jawab Pak Dahlan.
Kemudian saya bilang; emang bos kapan pulang? Setahu saya Pak Dahlan sudah sekian bulan di Amerika, saya belum mendengar beliau akan segera pulang. Pak Dahlan kemudian bilang; saya tadi malam (Rabu malam) pulang, dan paginya (Kamis pagi) langsung ke Kejaksaan.
Saya tahu, menghadapi soal-soal seperti ini Pak Dahlan bersikap biasa-biasa saja. Karena itu saya langsung bertanya. Nggak apa-apa kan bos? Dijawab Pak Dahlan dengan kalimat yang datar. "Yaaaa…, kalau menurut saya sih nggak… tapi ya nggak tahu."
Saya menduga, sore itu Pak Dahlan belum menyimpulkan apakah dia tetap akan menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2011-2013, atau akan ditetapkan jadi tersangka. Pak Dahlan memang pola pikirnya begitu, selalu bersiap menghadapi berbagai kemungkinan.
Yang pasti, hari ini (Jumat, 5 Juni 2015) dia masih akan diperiksa di Kejaksaan lagi.
Saat Kejaksaan mengumumkan Pak Dahlan ditetapkan sebagai tersangka kemarin sore, saya agak kaget, cuma agak, tidak terlalu kaget. Sebab, informasi seputar itu sudah beredar agak lama dan banyak orang sudah berspekulasi bahwa Pak Dahlan bakal jadi tersangka.
Pak Dahlan sendiri, saya kira tidak terlalu kaget, karena dia pasti tahu bahwa persoalan seperti ini tidak lurus-lurus saja. Artinya, segala kemungkinan memang bisa terjadi.
Tapi, benarkah Pak Dahlan tidak kaget? Ini yang coba saya raba-raba. Dari kebiasaannya, dan pola pikirnya merespons persoalan, mungkin saja ada kagetnya. Tapi saya kira tidak mungkin dia shock. Pengalaman hidupnya, dan kemampuan intelektualitasnya memahami persoalan dengan segala kompleksitasnya, tak akan membuat Pak Dahlan
senewen gara-gara persoalan ini.
Saya kira, jalan pikiran Pak Dahlan begini: Ini kan bukan persoalan hidup mati, ini kan soal tafsir terhadap hukum, mungkin juga politik, tentu tak sedramatis ketika dia harus ganti hati (transplantasi liver) 6 Agustus 2007, karena sebagian besar hatinya membusuk. Itulah saat-saat paling sulit, paling menderita, paling penuh risiko dalam kehidupan Pak Dahlan.
Menghadapi kondisi seperti itu saja, Pak Dahlan masih bisa tersenyum, bahkan menenangkan orang-orang di sekelilingnya, bukan dia yang ditenangkan. Penderitaannya pasca operasi ganti hati atau lebih tepatnya disebut perjuangannya, justru dilewati dengan sangat sabar. Juga sangat produktif. Pengalamannya selama sekian bulan menjelang dan pasca operasi yang ditulisnya secara lengkap dalam buku berjudul "Ganti Hati" yang diterbitkan tahun 2007 itu, menggambarkan bagaimana dia bersikap menghadapi maut.
Banyak orang yang terkesima dan tertegun membaca buku itu. Ada yang bilang, Pak Dahlan telah memberi pelajaran penting dalam kehidupan, tentang kesehatan, tentang kesabaran, tentang keuletan, tentang kepasrahan, tentang optimisme, tentang ketaatan, tentang kedisiplinan,…dan bahkan seorang budayawan menganggap tulisan Pak Dahlan sebagai pengajian akbar.
Saat ini, Pak Dahlan menghadapi persoalan lain di Kejaksaan. Gelisahkah dia? Karena dia punya hati (meski hatinya baru) tentu saja kegelisahan itu ada. Tapi, kemampuannya menghadapi kegelisahan semacam itu tentu tak perlu diragukan lagi.
Pak Dahlan menderita sejak usia anak-anak, masa remaja dan masa muda dilewati dengan perjuangan sangat berat, ketika sudah sukses dalam usaha, dia menghadapi persoalan kesehatan yang amat berat, tapi semua bisa dilaluinya dengan baik.
Sudah sekian banyak persoalan yang menjegalnya dari waktu ke waktu, tapi sepertinya tak akan bisa mengguncang kepasrahannya, apalagi menghentikan optimismenya. Jadi perlukah Pak Dahlan ganti hati (lagi)? "Nggak bos…".
[***]