HPP beras yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 yang ditandatangani presiden Jokowi pada tanggal 17 Maret 2015 untuk menggantikan Inpres Nomor 3 Tahun 2012, dinilai masih belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
"Harga beras di pasaran sekarang rata-rata Rp 10 ribu. Sedangkan HPP beras yang tertera di Inpres No.5/2015 hanya Rp 7.300. Pada kehidupan nyata, implikasi akan sangat banyak mulai dari petani, masyarakat hingga pemerintah," papar anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, pagi ini (Kamis, 4/6).
Legislator Fraksi PKS ini mencontohkan, ketika petani pada saat panen menghasilkan 5 ton gabah, implikasi HPP ini akan menyebabkan harga per kilogram gabah hanya Rp 3.700, sesuai dengan Inpres. Sehingga di pasaran, harga gabah maksimal hanya Rp 4 ribu.
Apabila HPP beras Rp 10 ribu dengan faktor rendeman 55 persen, lanjut dia, maka gabah di tingkat petani bisa maksimal Rp 4.500 per kilogram. Ini berarti terjadi gap aturan dan kenyataan di lapangan yang menyebabkan petani dirugikan antara Rp 500 s.d Rp 800 per Kg. Jika ditotal, potensi kerugiannya berkisar Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta per sekali masa tanam dengan asumsi petani berproduksi 5 ton gabah.
"Bagi petani kecil, angka sebesar itu sangat berharga bagi mereka," katanya.
"Kami sangat sedih untuk saat ini ketika melihat para petani padi membiarkan sawahnya terbengkalai dibiarkan bera. Alasan mereka sederhana, mereka tidak mau rugi yang menambah sulitnya kehidupan mereka," sesal Akmal.
Petani sangat enggan menyerahkan gabah atau berasnya untuk diserap Bulog dengan harga yang miring. Tidak sebanding antara biaya produksi dan harga jualnya. Ditambah lagi kenyataan di lapangan, beras harganya mahal. Secara nalar, sulit diterima oleh akal mereka.
"Serapan beras yang rendah oleh Bulog ini, kadang-kadang dijadikan klaim pemerintah dengan menunjukkan data bahwa stok beras nasional tipis, sehingga punya alasan untuk melakukan impor beras," jelas legislator Sulawesi Selatan II ini.
Menurut Andi Akmal, kenaikan HPP mendekati harga beras di pasar tidak akan memicu kenaikan beras apabila pemerintah melakukan kontrol harga eceran. Disinilah peran pemerintah untuk menekan margin tengkulak agar terjadi keadilan antara keuntungan petani dan pedagang.
Lebih lanjut ia mengingatkan, pada momen lebaran, HPP beras dijadikan patokan oleh BAZNAS untuk menentukan standar harta yang dikeluarkan individu masyarakat untuk keperluan zakat fitrah dan zakat pendapatan.
"Jangan sampai kita salah dalam menunaikan ibadah karena salah aturan. Beras yang dimakan dengan harga Rp 10 ribu yang berarti untuk zakat fitrah Rp 25 ribu, tapi yang dikeluarkan sesuai HPP pemerintah dengan harga beras Rp 7.300,- yang berarti zakat fitrahnya Rp 18.250," urainya.
Begitu juga dalam penentuan nishob zakat pendapatan, lanjut dia, akan terjadi perbedaan hitungan antara kenyataan di lapangan dan aturan yang mengikatnya. Nishob di lapangan untuk zakat pendapatan per bulan bisa Rp 6.528.000. Namun jika merujuk hitungan HPP beras hanya Rp 4.765.440.
[wid]