RMOL. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menghargai hasil putusan praperadilan yang memenangkan permohonan mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin (IAS). Salah satu buktinya, KPK belakangan malah mengancam akan menjerat kembali IAS.
"Sebagai penegak hukum, seharusnya KPK menghargai putusan sidang praperadilan," terang pengacara IAS, Aliyas Ismail dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (14/5).
Lagian, menurut dia, dalam sidang praperadilan KPK sudah kalah telak. Makanya, dia mempertanyakan dasar KPK yang menyebutkan ingin menjerat kliennya lagi.
Selain itu, saksi KPK juga terbukti telah memberikan keterangan tidak benar terkait perjanjian kerjasama yang disebut sudah ditandatangani oleh IAS.
"Jadi begini, KPK harus jujur bahwa ada ketidakcermatan dalam menentapkan tersangka, tidak ditandatangani yang dimintai keterangan, penyidik juga demikian. Ini bukan hanya melanggar hukum tapi HAM," tandasnya.
Untuk diketahui, Ilham ditetapkan sebagai tersangka korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi PDAM tahun anggaran 2006-2012. Ia disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Dikabulkannya gugatan praperadilan Ilham tepat dua pekan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan pengadilan memeriksa penetapan tersangka sebagai obyek gugatan. Pada Selasa (28/4), lembaga penguji undang-undang dengan konstitusi tersebut memutuskan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tak mencantumkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, bertentangan dengan UUD 1945. MK pun menasbihkan penetapan tersangka dapat digugat melalui jalur praperadilan.
Sebelum putusan tersebut diterbitkan MK, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan tersangka KPK sekaligus mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Jero Wacik, bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, dan bekas Direktur PT Pertamina Suroso Atmomartoyo resmi ditolak oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketiganya menggugat lembaga antirasuah jauh sebelum MK mengeluarkan putusan.
[sam]