DPR akan menggulirkan Panitia Kerja (Panja) untuk membahas masalah kerugian Pertamina sebesar Rp 2,75 triliun selama Januari-Februari 2015. Kepemimpinan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto diragukan.
Anggota Komsi VII DPR biÂdang Energi Sumber Daya MinÂeral, Achmad Fahrial merasa priÂhatin adanya kerugian triliunan di Pertamina. Ditambah, adanya rencana penghapusan premium yang dinilai akan menambah berat beban masyarakat.
"Awal tahun 2015 kok sudah merugi. Ini ada apa. Apa benar stok minyak 2014 penyebab kerugian tersebut, atau ada motif lain," tanya Fahrial menyikapi adanya kerugian di Pertamina.
Politisi PPP ini pun meragukan kepemimpinan Dwi di PertamiÂna. Sebab, sebagai perusahaan minyak dan gas terbesar di IndoÂnesia, Pertamina harus dipimpin oleh orang yang mengerti migas, dan seluk beluk permasalahan di Pertamina.
"Secara pribadi pak Dwi meÂmang tidak cocok karena tidak memiliki latar belakang migas. Mengurus Pertamina berbeda dengan mengurus semen. Kalau biasanya ngurus yang kering-kering, tiba-tiba harus ngurus yang licin, khawatir bisa kepeÂleset," kata Fahrial.
Menurut dia, sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memiÂliki aset cukup besar, Pertamina mestinya dipimpin oleh orang berpengalaman dan ahli di bidangÂnya. Sehingga, bisa membawa PerÂtamina surplus setiap tahunnya.
Selain itu, Pertamina harus bisa mensinergikan dengan peruÂsahaan migas lainnya, dan menÂgelola anak perusahaannya untuk bekerja secara teamwork.
"Sangat sulit jika orang tak paham migas memimpin PerÂtamina. Dikhawatirkan malah akan terus merugikan perseroan. Kalau memang merasa tidak sanggup silakan mengundurkan diri. Tapi kalau yakin bisa bawa Pertamina surplus dan makin maju, silakan diteruskan," kata Fahrial.
Anggota Komisi VII Inas Nasrullah dari Fraksi Hanura mengatakan, seharusnya Dwi seÂbagai Direktur Utama Pertamina memiliki keberanian melakukan terobosan, khususnya memÂberantas mafia migas di tubuh perseroan.
"Permainan mafia saat penuÂrunan harga minyak dunia seharÂusnya bisa dicegah dan ketahui. Tapi karena tidak ada keberanian akhirnya jadi bulan-bulananan. Akibatnya, rugi di awal tahun," kaÂta Inas kepada
Rakyat Merdeka. Iapun menjelaskan, saat ini Komisi VII tengah menyiapkan Panitia Kerja (Panja) untuk membahas permasalahan yang ada di tubuh Pertamina. TerÂmasuk adanya bahan bakar baru menggantikan premium.
"Kita sedang siapkan Panja. Kita ingin Pertamina tidak terus merugi dan tidak membebankan rakyat dengan kenaikan harga, khususnya BBM non subsidi," tegas dia.
Direktur Eksekutif Energy Watch Ferdinand Hutahaean juga meminta agar direksi Pertamina menanggalkan jabatannya sebeÂlum negara nantinya bakal ikut menanggung kerugian.
"Ini bentuk ketidakmampuan direksi mengurus Pertamina. Meski situasi sulit dan terjadi penurunan harga minyak dunia yang jadi alasan Pertamina merÂugi, seharusnya direksi mampu merevitalisasi dan melakukan evisiensi agar tidak merugi," kata Ferdinand
Dwi, lanjut Ferdinand, juga beÂlum mempunyai konsep yang maÂtang untuk memajukan perseroan. Ia khawatir, kerugian ini menjadi awal yang lebih buruk untuk nasib Pertamina ke depan.
"Kinerja direksi baru menuÂrun, karena memang tidak punya konsep jelas bagaimana memÂbangun Pertamina ke depan. Bahkan untuk sekedar memperÂtahankan kinerja yang lalu pun tidak mampu. Padahal, beban subsidi yang harus ditanggung periode lalu, jauh lebih besar dari yang harus ditanggung periÂode sekarang, tapi buktinya bisa bertahan. Kok sekarang malah gak bisa," ketus Ferdinand.
Menanggapi itu, Direktur UtaÂma Pertamina Dwi Soetjipto meÂnyatakan, pihaknya siap memperÂtanggungjawabkan kerugian yang ada. Iapun mengaku, siap jika sewaktu-waktu dicopot dari posisinya sebagai Dirut Pertamina.
"Ya nggak apa-apa. Kalau kita sudah berani ditunjuk harus beÂrani dicopot," tantang Dwi.
Meski begitu, ia berkilah ukuÂran kinerja direksi tidak bisa dilihat hanya dalam waktu dua bulan saja, tetapi harus secara keseluruhan sepanjang 2015 ini.
Dwi menegaskan, faktor peÂnyebab kerugian Pertamina hingga Rp 2,75 triliun juga harus dicermati. Salah satunya, karena persediaan stok minyak pada Oktober 2014 yang harganya saat itu masih tinggi.
"Tidak bisa melihat kinerja hanya dalam 1-2 bulan saja, karÂena ini kan banyak menyangkut masalah efek harga minyak dunia yang turun. Bulan Januari kami masih memikul beban harga minÂyak yang dibeli Oktober, yang harÂganya masih mahal," terangnya.
Kendati begitu, Dwi akan fokus mengembangkan energi baru dan terbarukan untuk menunjang kebutuhan energi nasional.
"Selama 10 terakhir pemerinÂtah dianggap tidak serius dalam mengawal dan melaksanakan program pengembangan energi baru dan terbarukan. Karena itu, kami mulai fokus untuk mengembangkan energi terÂbaru," kata Dwi. ***