Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid hadir dalam kegiatan sosialisasi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika di Universitas Negeri Jakarta, Selasa (31/3). Dalam kesempatan itu Hidayat menegaskan bahwa kegiatan sosialisasi tidak ada kaitannya dengan partai politik. Sosialisasi yang digelar merupakan sebuah semangat keindonesiaan.
"Kita hadir di sini sebagai pimpinan MPR," ujar dia di hadapan ratusan mahasiswa yang memadati Aula Brigjen Latief Hendraningrat, Gedung Dewi Sartika, Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta.
Menurut dia MPR diberi tugas untuk memasyarakatkan apa yang terjadi dengan perubahan di UUD 1945 sebagai buah dari reformasi. Dan jika perubahan-perubahan ini tidak disosialisasikan maka bagaimana rakyat akan mengetahuinya.
"Untuk itu acara sosialisasi bukan acara remeh temeh," tegasnya dihadapan mahasiswa lintas fakultas itu.
Menurut Hidayat Nur Wahid, sosialisasi merupakan kegiatan yang konstitusional karena dilakukan oleh lembaga yang konstitusional, MPR. Meski MPR diberi tugas untuk mensosialisasikan namun MPR tidak sendiri. MPR mengajak presiden untuk ikut juga mensosialisasikan.
Dikatakan lebih lanjut oleh Hidayat Nur Wahid, MPR di periode sekarang membahas nama kegiatan yang diselenggarakan ini sebab sebutan Sosialisasi 4 Pilar pernah digugat oleh masyarakat ke MK. Mereka menggugat sebab menyamaratakan Pancasila dengan yang lain.
Diakui nama 4 Pilar sudah sangat familiar dan terkenal. Untuk itu antara MPR dan MK melakukan kompromi sehingga sosialisasi yang dilakukan bernama Sosialiasi 4 Pilar MPR dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Lebih lanjut Hidayat mengatakan bila kita bicara Pancasila seolah-olah itu adalah indoktrinasi. Padahal menurut Hidayat Nur Wahid tidaklah demikian. Kalau dilihat dari sila sila yang ada betapa hidupnya Pancasila. Kesalahan persepsi pada Pancasila bisa jadi karena pengalaman pada masa lalu pada masa Orde Baru, di mana Pancasila dijadikan alat penekan kepada masyarakat yang kritis pada pemerintah.
"Pada masa Orde Baru Pancasila diharuskan jadi azas tunggal organisasi," ujarnya.
"Padahal pada masa Bung Karno, Pancasila tak dijadikan azas tunggal, justru kalau menjadikan azas tunggal akan merendahkan Pancasila," sambung dia.
[dem]