Kinerja penanganan kasus korupsi di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dipertanyakan publik. Proses penahanan yang seperti ajang tebang pilih, kini menjadi sorotan keberlanjutan pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung.
Hal tersebut terbukti masih adanya 'pembiaran' tersangka korupsi yang prosesnya sudah berjalan lama, tak kunjung ada penahanan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan sikap Jampidsus Widyopramono yang terkesan mencari pencitraan dari penahanan tersangka korupsi.
"Contoh saja penahanan komedian Mandra. Secara tidak langsung seperti ajang pencitraan Jampidsus. Hal itu berbanding terbalik dengan beberapa tersangka korupsi yang sebelumnya sudah lama ditetapkan oleh kejaksaan," kata peneliti ICW, Emerson Yuntho dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Senin (16/3).
Emerson menegaskan kejaksaan seperti melupakan kasus-kasus lama yang mandeg, dengan memunculkan kasus baru yang dapat mendongkrak pencitraan semata. "Kalau begitu, apakah bisa dikatakan sebagai penegak hukum yang independen, profesional dan on the track," tegasnya.
Selain itu, persoalan kasus puluhan milyar seperti kasus PT Pos Indonesia, kasus kredit fiktif Bank Mandiri, kasus kredit fiktif Bank Permata, dan masih banyak lainnya, sudah ditelan bumi. "Kejaksaan harusnya konsisten dengan proses penyidikan dan penyelidikan dalam beberapa kasus korupsi yang mandeg tersebut," ucapnya.
Pembentukan satgassus anti korupsi, menurut dia sepertinya tidak merubah keadaan 'gedung bundar' kejaksaan. "Belum ada prestasi," sesalnya.
Menurutnya, alih-alih menangani kasus korupsi kelas 'kakap', ternyata satgas kebanggaan Jaksa Agung ini justru menangani kasus korupsi dengan kisaran kerugian negara sekitar Rp 1-3 miliar saja. "Kami berharap, unit tindak pidana khusus Kejaksaan Agung harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai lambannya penanganan korupsi meski sudah ada Satgassus. Unit tindak pidana khusus ini terlihat kurang aktif menggandeng PPATK dan PPA Kejaksaan untuk kasus-kasus yang dianggap sulit dalam penyelesaiannya, sehingga mereka tidak saja follow the suspect tapi juga follow the money," tegasnya.
"Jika tidak, nantinya pembentukan Satgassus dikhawatirkan hanya akan dianggap sebagai pencitraan," tuturnya.
Hal itu masuk akal mengingat pada masa Jaksa Agung Hendarman Soepandji, tahun 2008, juga dibentuk satuan khusus pemberantas tindak pidana korupsi yang serupa. Namun, nyatanya beberapa kasus mangkrak atau tak diusut sampai tuntas.
Dirinya menyarankan, Jaksa Agung HM Prasetyo jika masih memiliki cita-cita memberantas korupsi, harusnya posisi Jampidsus di reshuffle. "Sumber daya manusia di bidang Jampidsus harus diganti. Tentunya agar harapan masyarakat kepada kejaksaan tidak sekedar harapan dan menikmati pencitraan pejabat kejaksaan semata," imbuhnya.
Padahal, tepat sehari setelah pelantikan Satgassus pada 8 Januari 2015, Widyopramono berjanji mengungkapkan, kasus rekening atau transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada awal Desember 2014 akan menjadi prioritas. Wajar, jumlah nilai dugaan tindak pidana korupsinya cukup besar.
"Penetapan tersangka dalam kasus yang naik penyidikan juga tak banyak menyeret nama orang besar juga kan. Umumnya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut adalah pihak swasta," cetusnya.