Pelaku industri hasil tembakau yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mempertanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo yang dinilai tak berpihak pada industri hasil tembakau (IHT).
Ketidakberpihakan pemerintah itu tampak dalam Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (RIPIN 2015-2035). Saat ini draft RPP yang disusun Kementerian Perindustrian tersebut sudah berada di Kantor Sekretariat Negara untuk disinkronisasi dengan aturan lain yang berkaitan.
Di bagian lampiran draft RPP RIPIN 2015-2035, terungkap ada upaya untuk menghilangkan IHT dari RPP RIPIN. Padahal, dalam penjabaran pemerintah yang tertera di tabel 1 tentang 'Sasaran Pembangunan Industri Tahun 2015 s.d 2035', tembakau masih menjadi parameter pertumbuhan industri.
Tetapi anehnya, pada bagian lain, yakni di Lampiran angka IV bagian C, menyebutkan, IHT tidak termasuk dalam 10 industri prioritas yang menjadi fokus Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam RIPIN 2015-2035. 10 Industri andalan itu antara lain meliputi bidang pangan, farmasi, kosmetik dan alat kesehatan, tekstil, kulit, alas kaki dan aneka, alat transportasi, elektronik dan telematika, serta pembangkit energi.
Ketua Umum Gappri Ismanu Soemiran menegaskan, kebijakan itu justru berpotensi menghilangkan perlindungan terhadap IHT. Padahal, pasal 1 ayat 2 poin G draft RPP RIPIN menyebutkan, salah satu fungsi RIPIN sebagai pemberdayaan, pengamanan dan penyelamatan industri
"Ini jelas sangat janggal dan aneh," kritik Ismanu dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (2/3).
Ulas Ismanu, sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, IHT selalu menjadi prioritas dan andalan bagi penerimaan negara. Apalagi, RIPIN disusun sebagai pelaksanaan amanat Pasal 8 ayat 1 dan mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (5) UU 3/2014 tentang Perindustrian.
"Ketika IHT tidak masuk RPP RIPIN 2015-2035 ada kesan upaya memberangus IHT sebagai usaha rakyat. Saya menduga adanya penyelundupan program kesehatan yang begitu kuat sebagai alasan menyingkirkan IHT," tengarainya.
Padahal IHT terbukti sebagai industri yang tahan krisis, mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang sangat signifikan, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik rokok, distributor hingga pengecer.
Kontribusi IHT terhadap pendapatan negara, dinilainya pula sangat besar dari sisi cukai dan perpajakan lainnya, yakni hampir 10 persen dari total Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
Untuk cukai rokok saja, tahun lalu industri setor ke pemerintah mencapai Rp 112 triliun. Untuk tahun ini cukai rokok dikerek naik sebesar 27 persen, atau mencapai Rp 140 triliun. Belum lagi pajak yang disetor sebagai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang besarannya mencapai 10 persen dari target cukai.
"Kondisi ini menunjukkan betapa IHT jadi andalan Ditjen Bea dan Cukai dalam memenuhi target penerimaan kepabeanan dan cukai senilai Rp 188,9 triliun," ujarnya lagi.
Melihat potensi cukai rokok yang sangat besar tersebut, menurut Ismanu akan lebih baik jika pemerintah lebih memperhatikan dan memasukkan dalam prioritas RIPIN 2015-2035. Apalagi, tahun ini target produksi rokok lokal dipatok di angka 358 miliar batang, naik dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 345 miliar batang.
"Rokok ini porsinya sangat besar dan tidak ada komoditi lain yang bisa lawan. Contohnya miniman beralkohol saja hanya di sekitar Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun," tandasnya.
"Jika Presiden masih cinta bangsa ini serta peduli akan nasib petani dan buruh tembakau, harusnya Presiden merevisi RIPIN 2015-2035," Ismanu, menandaskan
.[wid]