Meski memenuhi panggilan Bareskrim Polri (Selasa, 24/2), Wakil Ketua KPK nonaktif, Bambang Widjojanto (BW), menolak diperiksa penyidik. Ia bersama kuasa hukumnya malah menyerahkan tiga surat yang isinya menjadi dasar penolakan.
Salah satu surat diberikan ke Wakil Kepala Polri, Komjen Badrodin Haiti. Isinya, meminta Bareskrim menggelar gelar perkara khusus dalam kasusnya.
Ketua Tim Kuasa Hukum Bambang, Asfinawati, mengatakan, gelar perkara khusus berhak diajukan. Itu adalah upaya hukum normatif atas permintaan tersangka atau kuasa hukum yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap).
"Jika tidak ditindaklanjuti, menunjukkan itikad buruk dari kepolisian dan kasus ini ," terangnya di kantor KPK, Jakarta, Selasa (24/2).
Gelar perkara khusus juga harus dilakukan karena banyak kejanggalan dalam kasus BW. Salah satunya, alamat BW yang tertera dalam surat panggilan tidak sesuai dengan alamat tertera pada kartu identitas (KTP)-nya. Waktu kejadian perkara juga dianggap janggal. Awalnya disebut bulan Juli, tapi dalam surat panggilan ketiga berubah menjadi bulan Juni.
Kejanggalan lainnya adalah soal status BW. Dalam surat panggilan tertanggal 18 Februari 2015 itu, BW disebutkan sebagai mantan pimpinan KPK. Padahal sesuai dengan surat yang diterbitkan Presiden Jokowi, BW adalah Wakil Ketua KPK nonaktif sementara.
Soal sangkaan pasal terhadap BW yang selalu berubah juga dinilai janggal oleh tim kuasa hukum. Kata Asfinawati, dalam surat penangkapan BW disangka Pasal 242 KUHP jo Pasal 55 KUHP, pada surat panggilan tertanggal 30 Januari berubah menjadi Pasal 242 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Tapi, dalam surat panggilan tertanggal 18 Februari 2015 bertambah kembali menjadi Pasal 243 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 Jo Pasal 56 KUHP.
Kejanggalan yang mencolok, pasal yang dicantumkan dalam tiga kali surat yang diterima (surat penangkapan, surat pangilan pertama, dan surat panggilan kedua) tidak pernah sama.
"BW dianggap yang mana? Kelemahan-kelemahan menunjukkan rekayasa, penyidik pun tidak yakin dengan sangkaan," urai Asfinawati.
Hal lain yang diminta oleh kuasa hukum KPK adalah agar Polri menjalankan rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia dan Komnas HAM. Isinya, merekomendasikan Polri untuk memeriksa dan memberi sanksi pada Kombes Daniel Bolly Tifaona sebagai Kasubdit VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus beserta penyidik yang telah melakukan maladministrasi.
Ombudsman juga merekomendasikan Polri untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi pada Kombes Viktor E. Simanjuntak yang merupakan perwira menengah Lembaga Pendidikan Polri yang ikut serta menangkap BW. Padahal, dalam surat penangkapan, namanya tidak tercantum.
"Dia ikut menahan, tapi tidak ada di sprindik (surat perintah dimulainya penyidikan). Ternyata Kombes Viktor dari Lemdikpol. Ada hubungan apa dengan BG (Budi Gunawan) yang dikasuskan di KPK. Ini indikasi di balik penetapan BG sebagai tersangka," terangnya.
Selain itu, lanjut Asfinawati, pihaknya juga meminta Polri menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM. Isinya, menyarankan Komjen Badrodin Haiti untuk melakukan penyelidikan internal atas dugaan
abuse of power dalam penetapan BW sebagai tersangka. Hal ini lantaran penetapan status tersebut diduga terkait dengan proses hukum anggota kepolisian.
Selain itu, Badrodin yang juga merupakan pelaksana tugas dan wewenang Polri direkomendasikan untuk memperbaiki peraturan internal di kepolisian untuk memastikan
due process of law atau penegakan hukum yang tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum atau melanggar hak-hak asasi manusia.
Selain gelar perkara dan dilaksanakannya rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM, Asfinawati menyatakan pihaknya juga meminta penyidik Bareskrim menyerahkan Berita Acara Perkara (BAP) yang merupakan hak BW sebagai tersangka. Hal itu, sesuai dengan Pasal 72 KUHAP.
"BAP sangat dibutuhkan klien kami untuk pembelaan, tapi sampai sekarang belum disampaikan sejak pemeriksaan pertama," tutupnya.
BW sebelumnya ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri karena diduga mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tak benar dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010 lalu.
BW dijerat Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP, dengan ancaman tujuh tahun penjara, sebagai buntut laporan politisi PDIP, Sugianto Sabran. BW sempat ditangkap Bareksrim pada Jumat 23 Januari lalu, yang menimbulkan aksi massa untuk memberi dukungan kepada KPK dan protes pada Polri.
Dalam kasus ini sudah ada yang dipidana yaitu Ratna Mutiara. Ia dulu ditangkap Bareskrim dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan dakwaan memberikan keterangan palsu di MK dan divonis lima bulan penjara. Ratna telah membantah kesaksiannya diarahkan oleh BW.
[ald]