Pemerintah mengklaim sudah menggunakan 99 persen kapal lokal sebagai penunjang kegiatan di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana KegÂiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), jumlah kapal penunÂjang operasi di sektor hulu migas sebanyak 690 unit. Dari jumlah itu hanya 7 kapal berbendera asing.
"Artinya, lebih dari 99 persen kapal berbendera Indonesia," ujar Kepala Humas SKK MiÂgas Rudianto Rimbono kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, sektor hulu migas tidak hanya sebagai sumber utama devisa tapi juga menjadi penopang perÂtumbuhan ekonomi nasional. Caranya dengan memaksimalÂkan keikutsertaan perusahaan nasional dalam bisnis itu.
Rudianto mengatakan, pihaknya mewajibkan konÂtraktor migas mengutamakan perusahaan nasional sebagai pemasok barang dan jasa daÂlam kegiatan mereka. KebiÂjakan itu tertuang dalam PedoÂman Tata Kerja Pengelolaan Rantai Suplai yang dikeluarÂkan SKK Migas.
Aturan itu antara lain mewaÂjibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menggunakan, memaksimalkan atau memberÂdayakan barang produksi dalam negeri dengan mengacu pada buku Apresiasi Produk Dalam Negeri (APDN) yang dikeluarÂkan Kementerian ESDM.
"Untuk kategori produk-produk yang wajib diambil dari dalam negeri sesuai APDN, kontraktor tidak diperbolehkan impor," tegasnya.
Dampak dari kebijakan tersebut, menurut Rudianto, total komitmen pengadaan barang dan jasa dalam periode 2014 sebesar 17,355 miliar dolar AS, persentase tingÂkat kandungan dalam negeri (TKDN) mencapai 54 persen.
Selain itu, ada aturan yang mengatur pelaksanaan pembaÂyaran kepada penyedia barang dan jasa melalui bank yang berada di Indonesia dengan mengutamaÂkan penggunaan bank nasional. "Total transaksi pembayaran pengadaan melalui bank-bank itu pada April 2009 sampai DesemÂber 2014 mencapai 45 miliar dolar AS," jelasnya.
Rudianto mengakui, keÂbijakan yang berpihak pada nasional ini kerap diprotes pihak luar yang menuduh diskriminatif.
Perlu diingat, bisnis hulu migas adalah bisnis negara yang semua pengeluaran akan digantikan bila kegiatan itu menghasilkan migas secara komersial. Dengan demikian, sangat logis bila kebijakan yang dibuat juga memihak pada kepentingan nasional.
"Pemain nasional perlu menÂingkatkan kapasitasnya agar mampu memenuhi standar kualitas industri hulu migas yang sangat tinggi terutama terkait faktor keselamatan," kata Rudianto.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) menargetkan pengheÂmatan biaya pengapalan
LiqÂuefied Petroleum Gas (LPG), minyak mentah dan BBM di atas 100 juta dolar AS atau setara Rp 1,2 triliun dengan mengoptimalkan penggunaan kapal milik sendiri untuk penÂgangkutan kargo impor.
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan, saat ini Pertamina mengoperasikan 64 kapal milik dari total sekitar 200-an kapal untuk mengangÂkut minyak mentah, BBM dan LPG. ***