Membandingkan antara bea masuk film impor dan PPN 10 persen yang dikenakan kepada produksi film nasional adalah rancu, karena keduanya jelas berbeda.
"Bea impor adalah bea impor, PPN adalah PPN. Membandingkan keduanya adalah keliru, misleading," kata pengamat perfilman, Kemala Atmodjo, dalam rilis yang diterima redaksi.
Pernyataan Kemala terkait dengan usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk menaikkan bea impor film sama dengan PPN 10 persen. Kadin menilai pengenaan bea masuk atas film impor tidak seimbang dengan PPN yang dikenakan pada produksi film nasional.
Menurut Kemala, bea masuk dikenakan atas barang yang diimpor. Sedangkan PPN film nasional dikenakan atas barang yang diproduksi. Dan di mana-mana, lanjutnya, bea masuk film asing memang lebih rendah dibandingkan PPN yang dikenakan pada produksi film nasional. Karena bea masuk memang hanya dihitung dari nilai fisik roll film atau hard disk digitalnya.
"Bukan berarti bahwa film asing tidak terkena PPN. Tetapi dikenakan di negara tempat dia diproduksi," kata Kemala.
Yang tidak banyak diketahui, selain harus membayar bea masuk, importir juga harus membayar royalti atas film tersebut. Artinya, film asing yang diimpor ke Indonesia bukan benar-benar dibeli dan kemudian dimiliki oleh importir. Tetapi, cuma dibeli hak edarnya untuk jenis peredaran tertentu, jangka waktu tertentu dan wilayah tertentu saja. Hak milik atas film itu tetap di tangan produser di luar negeri.
Lain cerita kalau keseluruhan hak film asing dibeli untuk jangka waktu selamanya. Jika demikian, harus dikenakan bea masuk sebesar harga beli film dan tidak dikenakan pajak royalti lagi pada saat impor. Bila itu yang terjadi, maka sama ceritanya dengan produksi film.
Jika mengikuti logika Kadin, lanjut Kemala, maka setiap film harus membayar bea masuk sebanding nilai PPN produksinya, di setiap negara di mana film beredar. Itu malah akan mematikan film Indonesia yang dijual ke luar negeri.
"Bayangkan, bila satu film diedarkan di 10 negara dan masing-masing negara tarif PPN nya 10 persen, maka total bea masuk yang harus dibayar produser sudah sebesar nilai produksinya. Belum lagi pembayaran pungutan impor lainnya," kata Kemala.
"Jadi, kalau Pemerintah kita mau menaikkan nilai bea masuk, itu silakan saja dikaji dan diputuskan. Tetapi membandingkan antara nilai bea masuk film impor dan nilai PPN produksi film, itu kekeliruan tersendiri," tambah Kemala.
Sebelumnya, analis perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, juga tidak sependapat dengan usulan Kadin. Menurutnya, membandingkan antara bea impor film dan pajak produksi film nasional, tidak tepat. Karena jika ingin apple to apple, maka yang dibandingkan adalah antara pungutan impor film di Indonesia dan pungutan impor film di negara lain. Selain itu, juga antara sistem pengenaan pajak produksi film di Indonesia dan sistem pengenaan pajak produksi film di negara lain.
Sementara, terkait usulan Kadin Indonesia agar bea impor film dinaikkan, hendaknya disikapi hati-hati. Sebab, jika pemerintah menerima usulan tersebut, tidak hanya berdampak pada perfilman Tanah Air, namun juga keberadaan Indonesia pada WTO.
"Indonesia melanggar WTO Valuation Agreement, khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf c dan interpretative note-nya," ungkap Darussalam.
[ald]