Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla diyakini tidak akan mampu mengoreksi kelemahan yang ada pada RPJMN pemerintah sebelumnya.
Demikian disampaikan senior researcher Center Of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal saat diskusi "Menakar Perubahan dari RPJMN 2015-2019" di bilangan Tebet, Jakarta, Rabu (21/1)
"RPJMN 2015-2019 terlihat masih menggunakan pendekatan pemerintahan yang lama, kelihatan copy paste," kata Faisal.
Core Indonesia pun membeberkan beberapa kelemahannya. Kelemahan pertama yakni soal teknis penyusunan. RPJM semestinya bisa jadi acuan mudah bagi berbagai kalangan. Bukan hanya pemerintah pusat (kementerian lembaga, DPR, BPK dan BPKP) tapi juga pemerintah daerah (sebagai acuan penyusunan RPJMD), pelaku usaha, akademisi dan masyarakat.
"Tapi sampai saat ini RPJM seolah-olah milik Bapenas saja. Kalau sudah ke kementerian dan pelaku usaha apalagi masyarakat susdah dijadikan referensi, terlalu menjelimet. Harus ada eksekutif summary yang mudah dicerna," kata Faisal.
Menurut Faisal, ruwetnya RPJMN pemerintah Jokowi bisa dilihat dari bukunya. Susunan dan jumlah halaman yang mencapai ribuan diyakini akan menyulitkan berbagai pihak.
"Ada tiga buku RPJMN 2015-2019. Dari buku pertama sampai ketiga tidak singkron bahkan tidak nyambung. Misalnya di buku pertama bicara soal kedaulatan pangan dan prioritas maritim, di buku kedua dan ketiganya di terjelaskan secara komprehensif," beber Faisal.
Menurut Faisal, di buku RPJMN tidak ada solusi terkait semua program-program pemerintah. Contohnya, dalam buku tersebut dibahas masalah nilai tukar rupiah yang fluktuatif dan tingkat inflasi yang tinggi, tapi strategi kebijkannya tidak sepesifik.
"Malah di RPJMN itu pengendalian inflasi hanya diberikan pada Bank Indonesia. Seharusnya kan pemerintah juga ikut. Karena urusan kendalikan impor pangan tidak mungkin BI, tapi pemerintah," kata Faisal.
Contoh lainnya, juga soal sektor industri. Di buku RPJMN masalah deinsutrialisasi, masih jawasentris dan ketergantungan impor dibahas, tapi strateginya tidak dijelaskan secara elaboratif dan tidak fokus.
"Kelemahan lainnya juga RPJMN tidak punya skala prioritas dan sasaran target yang jelas. Misalnya bicara kemandirian ekonomi, tapi kenyataannya pertumbuhan ekspor barang dan jasa tertulis lebih rendah dibandingkan impor,"lanjut Faisal
Begitupun dengan RPJMN Maritim dan jasa yang katanya jadi unggulan pemerintah. Tapi pemerintah hanya bicara menghancurkan kapal, tanpa membahas bagaimana soal ketergantungan kita saat ekspor dan impor dari laut terhadap asing.
"Ini bisa timbulkan defisit jasa yang sangat besar,"kata Faisal
Masalah pengangguran juga begitu. Dalam RPJMN tidak dibahawa bagaimana saat ini negara sedang dihadapkan pada penumpukan pengangguran di sektor informal, unpaid worker dan pekerja paruh dengan waktu tinggi.
Faisal pun menambahakan strategi pembangunan di RPJMN kurang tegas dalam selesaikan kesenjangan wilayah. Paling tidak ada dua yg bisa dikerjakan oleh pemerintah. Pertama soal APBN dengan meningkatkan meningkatkan DAU, DAK dan DBH. Tapi di RPJMN ketiganya masih dibatasi Undang-Undang. Anggaran diluar transfer daerah juga semestinya di RPJMN lebih berorientasi pada wilayah timur.
"Dalam RPJMN harusnya diberikan rencana kebijakan jelas soal mengurangi ketertinggalan di berbagai daerah,"kata Faisal
Menurut hemat Faisal, Bapenas saat ini sudah tidak berada di bawah langsung kementerian koordinator perekonomian, melainkan langsung dibawah presiden. Semestinya bapenas sudah bisa memastikan koordinasi antara kementerian dan pelaku ekonomi lain harus bersinergi.
"Harus ada revisi di RPJMN. Kalau tidak, perubahan akan sulit dilakukan,"kata Faisal
Lebih buruk lagi, pemerintah Jokowi-JK akan mengalami hal yang sama dengan RPJMN pemerintah sebelumnya (2004-2009 dan 2010 - 2014) di mana banyak target-target seperti inflasi, pengentasan kemiskinan, pengangguran dan pangan tidak ada yang tercapai dan banyak meleset.
[wid]