. Pemerintah diminta tidak gegabah dan mempolitisir penegakan hukum dan HAM demi kepentingan panggung sesaat. Pernyataan ini disampaikan peneliti Centre for People Studies and Advocation (CePSA) Pereddi Sihombing pasca eksekusi mati enam narapidana kasus narkoba pada Minggu kemarin (18/1. Pereddi juga menyebut penundaan pelantikan Kapolri seolah-olah pemerintah bertindak tegas demi kepentingan proses hukum di KPK.
"Penegakan hukum dan HAM tidak tajam ke semua sisi. Bagaimana dengan kasus-kasus hukum dan HAM lainnya yang selama ini terkesan dilupakan oleh negara. Banyak kasus korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu yang masih belum tuntas penanganannya. Namun, negara melakukan pendiaman, mulai dari struktur pemerintahan terendah sampai pada struktur pemerintahan tertinggi yakni Presiden Republik Indonesia. Penegakan HAM sepertinya hanya pada tataran seremoni-seremoni saja di tingkatan elit penguasa yang cenderung retoris tanpa esensi keadilan yang dicapai," kata dia dalam keterangannya, Selasa (20/1).
Pereddi menjelaskan, semangat dan kepedulian soal hak dasar yang menjadi tanggungjawab semua anak bangsa terlebih negara harus benar-benar bisa memberikan kepastian akan terjaminnya perlindungan hak-hak dasar warganegaranya. Sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada kontrak rakyat yang dituangkan dalam butiran teks UUD 1945 atau yang secara universal disebut sebagai konstitusi rakyat. Konstitusi rakyat dimaksud tentu konstitusi yang berpijak pada teori kontrak sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh J.J Rousseau dalam pemikirannya.
Realita masa kini penegakan hukum yang tidak efektif terkait yang menyangkut kasus-kasus hukum dan HAM masa lalu adalah cermin bahwa negara konsisten dari rezim ke rezim menghadirkan pertunjukan atau panggung retorika yang abadi kepada rakyatnya. Terlebih pada keluarga-keluarga korban pelanggaran HAM yang sampai saat ini tidak menemukan yang namanya esensi keadilan, padahal itulah garansi yang seharusnya negara berikan kepada rakyatnya sebagai wujud konsekuensi negara ini menganut konsep negara hukum. Kepercayaan rakyat dalam kontrak yang disepakati dalam teks UUD 1945 dicederai oleh negara melalui aparaturnya.
"Pemerintah sepertinya tidak serius dalam menangani penegakan kasus-kasus korupsi dan HAM masa lalu. Keseriusan tersebut sepertinya jauh dari harapan kenyataan dan jargon revolusi mental yang selama ini didengungkan oleh Presiden Jokowi. Bahkan yang dikuatirkan, penegakan hukum dan HAM hanya dijadikan panggung politik untuk menunjukkan citra baik di mata rakyat," ujar Pereddi.
Ia mengungkapkan, seorang pemikir klasik yakni filsuf Aristoteles menyatakan bahwa manusia hanya dapat berkembang dalam negara (polis) dan melalui negara (polis), maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan pada hukum negara. Keutamaan moral ini disebut oleh Aristoteles sebagai keadilan, itu sebabnya keadilan menurut hukum adalah sama dengan keadilan umum. Penegakan hukum oleh negara melalui Presiden dan menteri-menterinya saat ini belum bisa memberikan kejelasan, apalagi kepastian.
Pereddi pun mempertanyakan keseriusan pemerintah. Pemerintah mengatakan pelaksanaan eksekusi mati narapidana narkoba merupakan bentuk ketaatan pemerintah terhadap keputusan pengadilan. Namun, bagaimana penegakan hukum dan HAM untuk jemaat GKI Yasmin. Padahal putusan pengadilan telah memberikan koreksi dan kebenaran hukum terhadap masalah GKI Yasmin. Namun pemerintah tidak taat melaksanakan keputusan pengadilan ini. Lalu, dimana revolusi mental yang selama ini didengungkan itu? Bukankah revolusi mental seharusnya hadir untuk mencoba menerobos realitas kekakuan pada semua masalah bangsa, bukan tebang pilih kasus sekedar untuk menyenangkan rakyat.
Menurutnya, negara sengaja diam dan membiarkan adanya diskriminasi terhadap kasus GKI Yasmin, penembakan rakyat sipil di Paniai dan pembunuhan pembantu rumah tangga di Medan. Bahkan masih banyak kasus masa lalu yang para korban dan keluarganya masih menantikan kepastian dan keadilan hukum. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan pemikiran filsafat Yunani klasik yang seharusnya negara membawa manusia ke arah kesempurnaan. Kesempurnaan tentu akan jauh dari harapan kalau masalah-masalah seperti diatas tidak pernah diselesaikan bahkan cenderung masalah baru bertambah karena adanya pembiaran dari negara.
"Pemerintah harus meletakkan kembali posisi penegakan hukum dan HAM sebagai penegakan hak warga negara. Penegakan hukum dan HAM harus bersih dari drama panggung politik yang tidak disukai rakyat. Rakyat sudah terlalu bosan dengan dagelan politik karena realitas politik selalu mendahului dan menyampingkan realitas hukum yang terjadi. Keberanian Presiden Jokowi membuka pintu gereja GKI Yasmin dengan dasar hukum konstitusi, menyelesaikan kasus penembakan di Paniai serta kasus-kasus hukum lainnya sebenarnya adalah yang dinantikan rakyat dan bentuk implementasi dari revolusi mental yang selama ini didengungkan. Hakikat revolusi mental adalah suatu tindakan yang berani menembus tembok-tembok perusak konstitusi, agar bangsa yang besar bisa hidup sesuai dengan martabatnya dan kita dapat menjadi masyarakat yang sempurna (
societas perfecta)," demikian Pereddi.
[rus]