Hari-hari belakangan ini, publik menanti keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) tentang program Jaminan Pensiun. Nantinya, sesuai dengan amanat UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pelaksanaan program jaminan pensiun akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan Undang-undang mengamanatkan pelaksanaan program ini mesti dijalankan pada 1 Juli 2015. Sayangnya, sekalipun waktu pelaksanaan kian mendekat, PP Jaminan Pensiun tak kunjung rampung. Selain terganjal besaran iuran dibayarkan, konon timbul keresahan pengelola jaminan pensiun swasta terkait lahan bisnis yang bakal tergerus.
"Kami minta usulan yang disampaikan sebesar 8 persen yang merupakan 1/12 gaji pokok tak usah ditawar-tawar lagi. Itu sudah sangat realistis. Jika lebih kecil dari itu, sebaiknya program Jaminan Pensiun tak usah dijalankan karena tidak berarti apa-apa," kata Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko dalam suatu dialog di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bambang pun menilai, Indonesia merupakan negara yang tergolong tertinggal menerapkan jaminan sosial bagi warganegaranya. Selama ini, pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan yang menjadi lembaga negara dibawahi lembaga kepresidenan sudah menjalankan program jaminan sosial, dalam bentuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT). Namun, sesuai amanat perundangan, ada satu program lagi yang merupakan satu kesatuan, yaitu progam Jaminan Pensiun (JP) belum terselenggara.
Apakah sebenarnya arti jaminan pensiun? Sesuai naskah akademik SJSN, Program Jaminan Pensiun yang disingkat JP adalah pembayaran berkala jangka panjang sebagai subsitusi dari penerimaan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua (pensiun) mengalami cacat total permanen atau meninggal dunia. Dengan begitu, program Jaminan Pensiun (JP) berbeda dengan program Jaminan Hari Tua (JHT). Pembayaran program JP dilakukan secara berkala, sedangkan program JHT pemabayarannya dilaksanakan sekaligus.
Adapun rumusan terkait RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang mengatur tentang Jaminan Pensiun saat ini masih dalam pembahasan intensif antarinstansi meliputi, Menko Kesra, Menko Ekuin, Kementrian Keuangan, Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Hukum dan HAM, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS Ketenagakerjaan.
Nantinya, pekerja yang mendapat manfaat pensiun bulanan adalah mereka yang menjadi peserta program jaminan pensiun minimal 15 tahun memberi iuran, sementara peserta kurang dari 15 tahun akan mendapat manfaat langsung tunai atau dibayar sekaligus. Sementara itu, iuran Jaminan Pensiun BPJS bagi pekerja diusulkan sebesar delapan persen dari upah, dimana pekerja menanggung lima persen dan pemberi kerja tiga persen. Pesertanya, pekerja yang berupah di bawah Rp 16 juta per bulan, baik pekerja swasta maupun PNS dan TNI/Polri. Karena sifatnya mengikat atau mandatory, semua pekerja yang menerima upah, otomatis ikut dalam program nasional ini. Dengan begitu, mereka yang bergaji Rp 25 juta, besaran upah Rp 16 juta akan terkena potongan iuran delapan persen untuk program jaminan pensiun. Iuran itu tidak hilang, tapi diterima sebagai pembayaran berkala ditambah pengembangannya ketika memasuki usia pensiun atau setelah mengiur minimal 15 tahun saat bekerja.
Hal lain yang juga dibahas adalah biaya dan keuangan yang berkelanjutan dari
program pensiun adalah usia pensiun dan usia ketika masa manfaat pembayaran dimulai. Meskipun saat ini standar usia pensiun 58 tahun, standar usia pensiun pada program pensiun SJSN disyaratkan 60 tahun. Beberapa profesi mungkin memerlukan pekerja untuk pensiun lebih awal dari umur 60 karena kemampuan kerja yang lebih cepat menurun atau memerlukan keterampilan yang sulit dari pekerjaan tersebut. Jika pekerja di profesi-profesi ini diizinkan untuk pensiun lebih awal, biaya manfaat yang ditetapkan usia pensiun sampai standar usia pensiun dari 60 haruslah dibayar pemberi kerja.
Manfaat pensiun tidak boleh hanya berdasarkan upah terakhir. Tapi dihitung berdasarkan upah rata-rata dalam periode waktu yang lebih panjang. Kebanyakan sistem jaminan sosial yang menggunakan upah rata-rata sepanjang karir pekerja. Ini berarti semua upah di tahun pertama kerja diperhitungkan ke dalam bentuk future valueke tanggal pensiun. Maka nilainya akan merupakan rata-rata.
Isu lain terkait lama waktu yangdiperlukan untuk memperoleh manfaat pensiun. Kontribusi harus dilakukan untuk minimal 15 tahun untuk mendapatkan manfaat pensiun. Orang-orang yang mencapai usia pensiun dan tidak memenuhi kriteria ini hanya menerima pengembalian kontribusi saja.
Pekerja yang kurang dari 15 tahun dari usia pensiun pada saat program pensiun SJSN dimulai (lebih dari usia 45 jika usia pensiun adalah 60) tidak akan memenuhi persyaratan untuk pensiun manfaat. Banyak pekerja tua lainnya akan menerima manfaat pensiun, tetapi bukan keuntungan berdasarkan semua tahun dalam karir mereka bekerja.
Adapun mereka yang sudah berusia lebih dari 60 pada tanggal efektif tidak akan menerima manfaat dari sistem pensiun SJSN. Pemerintah harus memberikan kredit beberapa tahun terakhir untuk layanan terdahulu dari pekerja usia tua yang masih aktif, sehingga mereka yang memenuhi syarat menerima manfaat pensiun pada saat pensiun daripada hanya menerima pengembalian kontribusi. Pemerintah juga harus membayar "pensiun sosial" di bawah program ini kepada orang tua yang mengikuti program. Hal ini membantu menghasilkan dukungan luas untuk sistem pensiun dan menghasilkan keseimbangan lebih baik antara manfaat dan kontribusi pada tahun-tahun awal dari mulai berlakunya sistem.
Menariknya, sampai dengan saat ini masih belum diputuskan berapa besarnya iuran Jaminan Pensiun. Bahkan, bisa dibilang tarik menarik dalam penetapan besar iuran inilah yang memperlambat pelaksanaan pembahasan tentang RPP Jaminan Pensiun. Sejumlah pihak yang terlibat dalam tarik menarik besaran iuran itu, Pertama, terkait keberatan pihak pengusaha yang berupaya menghindari iuran 5 persen. Malah, kalangan pengusaha telah mempublikasikan keberatan mengiur 5 persen dari 8 persen program Jaminan Pensiun (JP). Mereka beralasan jumlah itu dirasakan berat, mengingat sebelumnyat mengiur untuk program JHT sebesar 3,7 persen.
Kedua, keberatan kalangan pekerja. Berbanding terbalik dengan pengusaha, para pekerja justru keberatan jika iuran pensiun hanya dipatok 8 persen, karena beralasan pembayaran berkala yang diterima pekerja hanya berkisar 25 persen dari gaji diterima saat aktif bekerja. Jika besaran iuran ini jadi ditetapkan, mereka menilai tidak banyak manfaatnya bagi pekerja pada hari tuanya. Artinya, bagi pekerja di level menengah ke bawah, kehidupan di masa tuanya sangat pas-pasan hanya untuk memenuhi kebutuhan sangat dasar yaitu makan dan minum. Hanya bagi pekerja di level atas yang bergaji besar, manfaat yang diterimanya bisa dirasakan cukup.
Namun, relatif masalah keberatan kedua belah pihak itu masih terjembatani melalui dialog-dialog intensif. Apalagi, sejak awal disadari, pelaksanaan UU ini, sekalipun mengikat semua pihak, tidak bisa diberlakukan sekaligus. Pelaksanaannya mesti bertahap bagi perusahaan berskala besar dan sedang, bukan perusahaan kecil yang sudah berisiko dan kesulitan memobilisasi dana usaha. Artinya, kebijakan itu akan diberlakukan terhadap BUMN, korporasi besar dan sedang. Sementara itu, meski perundangan mengamanatkan program Jaminan Pensiun (JP) diberlakukan juga untuk perusahaan kecil dan pekerja sektor informal, seperti petani, nelayan dan para sipir angkot, tapi pelaksanaannya masih membutuhkan waktu mengingat hal itu terkait dengan konsistensi iuran dan pendanaan.
Di luar keberatan kalangan pengusaha dan pekerja, sebenarnya ada lagi masalah krusial, terkait keengganan pemerintah cq Kementerian Keuangan untuk menyetujui besaran iuran (delapan persen) yang diajukan. Hal ini,didorong oleh kekuatiran kemampuan anggaran negara jika suatu waktu terjadi defisit, dimana pekerja yang berusia pensiun jumlahnya lebih besar dari angkatan kerja. Jika terjadi kondisi demikian, otomatis menjadi kewajiban negara menanggung selisih beban keuangan.
Kekuatiran defisit pengelolaan anggaran pensiun, sebenarnya menjadi konsekuensi logis dari sebuah kebijakan publik yang dilakukan dengan payung hukum yang diberlakukan secara masif. Penanggungjawabnya adalah negara. Apalagi, jika kita kembalikan, salah satu pemikiran mendasar terbentuknya negara ini adalah mengusahakan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Sebuah welfare state. Dalam konteks program Jaminan Pensiun (JP), mereka yang masih bekerja menanggung saudaranya sebangsa yang memasuki usia pensiun. Klop dengan rumusan gotong royong dari Pancasila.
Menurut Guru Besar Universitas Pancasila, Bambang Purwoko, dalam perhitungan aktuaria jaminan pensiun, tak bisa dihindari terjadinya defisit pembayaran. Tapi, jangka waktunya sendiri terukur, yang terjadi dalam kurun 50 tahun mendatang. Hal itu, terkait dengan berbagai faktor, diantaranya, meningkatnya usia harapan hidup yang berdampak mereka yang memasuki usia pensiun menjadi lebih banyak dari angkatan kerja yang ada.
Di negara manapun sudah menjadi kewajiban negara ikut mengiur. Jika terjadi unfunded, negara pun mesti ikut menanggung,†kata Bambang. Dia mencontohkan, defisit pengelolaan pensiun pun sudah terjadi dalam pengelolaan pensiun TNI/Polri dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat ini. "Jumlah PNS 4,7 juta tapi yang pensiun sekarang 2,6 juta. Ini tidak sehat, karena rumusnya yang seimbang adalah 2:1, dimana yang berkerja harus dua kali lipat yang pensiun," terangnya. Sebagai konsekuensinya, pemerintah menganggarkan dalam APBN, menutupi defisit yang terjadi.
Sekalipun begitu, Bambang menambahkan, terbuka peluang menyiasati kekuatiran pemerintah atas terjadinya defisit pengelolaan jaminan pensiun. Pemerintah kan tidak ikut mengiur, tapi menanggung jika terjadi unfunded di suatu waktu tertentu. Untuk mengatasi itu, bisa saja pemerintah menyisihkan dana tertentu yang dititipkan pada BPJS Ketenagakerjaan atau bisa juga dikelola sendiri sebagai cadangan bila suatu waktu terjadi defisit pembayaran,†imbuhnya.
Terkait dengan usulan iuran jaminan pensiun sebesar delapan persen, Bambang pun menyebutkan, jumlah itu sudah sangat realistis. "Usulan itu diambil dari 1/12 dari gaji pokok. Karena nantinya akan dinaikan bertahap. Sebaiknya usulan ini dijalankan saja dulu, karena menjadi kewajiban negara menanggung risiko jika terjadi unfunded, katanya.
Menurut dia, jika diperbandingkan iuran yang mesti disisihkan untuk program pensiun, iuran program pensiun di Indonesia tergolong sangat rendah. Sebagai misal, di Malaysia iuran yang dibayarkan 23 persen terdiri dari 11 persen iuran pekerja dan pemberi kerja 12 persen. Italia 32,7 persen. Adapun Vietnam, iurannya 20 persen, dengan perincian pekerja 7 persen pengusaha 13 persen, di RRC iurannya sebesar 20 persen yang dibayarkan oleh pengusaha, di Malaysia sebesar 24 persen dengan perincian pekerja 11 persem pemberi kerja 13 persen dan di Singapura pekerja 20 persen sedangkan pengusaha 16 persen.
"Kalau di rata-rata iuran pensiun di negara-negara lain iuran yang diberlakukan 1/4 atau 1/5 gaji yaitu 25 atau 20 persen. Untuk Indonesia hanya 1/12 atau 8 persen, karena itu jangan ada yang menawar-nawar lagi,†harapnya. Sekalipun begitu, Bambang melanjutkan, iuran jaminan pensiun diusulkan naik bertahap, dimulai dari 8 persen (2015), 10 persen (2012), 12 persen (2021), 15 persen (2024) dan 17 persen (2030).
Dalam kesempatan lain, Kepala Divisi Teknis BPJS Ketenagakerjaan dr Indro Sucahyono menegaskan kesiapan BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan amanat yang diberikan negara. Namun, sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai juklak melaksanakan jaminan pensiun belum ada. "Kalau PP program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) sudah di kementrian. Untuk program Jaminan Hari tua (JHT) Desember diperkirakan selesai. Tapi untuk program Jaminan Pensiun masih terus dalam pembahasan," terangnya.
Bagaimanapun disadari, tidak mudah mengeluarkan suatu PP. Karena, diperlukan langkah-langkah melakukan harmonisasi dengan program sebelumnya dalam menghindari duplikasi manfaat dalam mengontrol biaya. Selain itu pun, program-program yang telah ada untuk sektor formal dan PNS perlu disesuaikan. Penyesuaian pun dilakukan terhadap program pesangon berdasarkan Undang-UndangNo. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagai misal, manfaat pesangon berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 dikurangi dengan nilai dari manfaat pensiun SJSN, dan manfaat pensiun yang dibayarkan kepada PNS dari APBN akan dikurangi dengan manfaat pensiun SJSN.
Tahapan-tahapan ini, bisa berlangsung lama, karena melibatkan koordinasi berbagai instansi. Apalagi, sejak dulu koordinasi diantara instansi pemerintah dikenal sebagai barang mahal. Itu semua berlaku, jika didasari alasan-alasan yang wajar. Namun, tidak sedikit yang menengarai pangkal berlarut-larutnya pembahasan PP Jaminan Pensiun ini, terkait dengan tarik menarik kepentingan penetapan besaran iuran pensiun. Bambang Purwoko mengisyaratkan, ada pihak-pihak yang ingin menawar besaran iuran pensiun turun lagi dari 8 persen.
Besarnya kepentingan para pihak terhadap penetapan PP iuran Jaminan Pensiun (JP) tidaklah mengherankan. Karena, pelaksanan program JP berdampak menggerus pasar dana pensiun swasta. Direktur Pengawasan Dana Pensiun dan BPJS Ketenagakerjaan, Otoritas Jasa Kuangan (OJK), Heru Juwanto pun mengakui keresahan pengelola jaminan pensiun swasta dengan keluarnya PP yang mengatur jaminan pensiun bagi pekerja. Menyusul kewajiban penyediaan dana pensiun sebesar 8 persen oleh BPJS Ketenagakerjaan, DPLK mengkhawatirkan pangsa pasar mereka 11 persen akan teralihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang saat ini hanya memberikan perlindungan dasar (pension basics).
Sekarang, bola pun berada di tangan pemerintah. Karena, pemerintah memiliki kewenangan besar dalam pembahasan PP Jaminan Pensiun. Namun, jika dicermati mendalam, kalangan pemerintah pun terbelah dalam menyikapi PP Jaminan Pensiun. Kementrian Ketenagakerjaan mengklaim mendorong pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) jaminan pensiun Januari 2015. "Kalau sampai Januari masih alot pemerintah akan mengambil sikap menetapkan keputusan yang paling bijaksana," kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ruslan Irianto Simbolon.
Irianto mengakui, dalam rapat yang dilakukan, masing-masing perwakilan baik pengusaha dan pekerja tidak terdapat kesepakatan dengan persentase besaran iuran yang dibayar. Pekerja meminta persentase 15 persen di mana pengusaha mengiur 10 persen dan pekerja 5 persen. Namun, permintaan tersebut dinilai terlalu membebani pengusaha.
Menurut kami angka yang paling pas adalah 8 persen, pembagiannya 5 persen ditanggung pengusaha dan 3 persen ditanggung pekerja. Pembagian ini yang paling pas,†katanya. Angka yang disebutkan Kementrian Ketenagakerjaan tampaknya klop dengan yang apa yang disampaikan DJSN. Tapi, persoalan tidak berhenti disitu. Pasalnya, masih ada keraguan dari elemen pemerintah, terutama Kementrian Keuangan yang tidak menyetujui usulan iuran delapan persen, terkait kekuatiran gagal bayar jika terjadi selisih pengelolaan pensiun.
Padahal, mengacu best practice sejumlah negara, program pensiun diyakini bisa berlangsung dengan baik, malah memperkuat perekonomian negara melalui mobilisasi dana masyarakat. Sulit memang membandingkan Indonesia dengan Singapura, karena skala penduduk yang berbeda. Indonesia 250 juta dan Singapura hanya berkisar 4 juta. Tapi, dengan Vietnam dan RRC yang juga sudah melaksanakan Jaminan Pensiun, tentu menjadi suatu pertimbangan tersendiri bagi Indonesia.Apalagi, menjadi kewajiban negara dalam mengusahakan kesejahteraan bagi warganegaranya. Jika program Jaminan Pensiun (JP) dengan iuran yang besar dengan kisaran mencapai 20-30 persen bisa dilaksanakandi negara-negara lain, mengapa itu tidak bisa dilaksanakan di Indonesia.
Di lain pihak, banyak manfaat dibalik berlakunya program Jaminan Pensiun, terutama kontribusi bagi perekonomian nasional. Kontribusi dana pensiun terhadap perekonomian nasional saat ini kalah dengan instrumen investasi sektor perbankan. Namun, dalam tahun-tahun mendatang sebagian dana milik dana pensiun bisa saja beralih ke berbagai instrumen yang dihasilkan pasar modal. Dengan bertambahnya partisipasi dana pensiun melalui pasar modal, peranan dana pensiun sebagai sumber modal pembangunan yang berasal dari dalam negeri pun bisa lebih dirasakan para pelaku sektor riil.
Jika program jaminan pensiun dilaksanakan, negara bisa memobilisasi dana Rp 110 triliun setiap tahun yang digunakan untuk menggerakkan berbagai proyek pembangunan,†kata Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timbul Siregar. Besaran angka yang diungkapkan Timbul Siregar, memang tak berlebihan. Pasalnya, UU mengamanatkan mereka yang menjadi peserta Jaminan Pensiun bukan hanya para pekerja formal, tapi seluruh pekerja informal. Jumlah para pekerja formal dan informal di Indonesia mencapai 110 juta pekerja. Bayangkan saja, jika rata-rata pekerja menyisihkan minimal Rp 1 juta/tahun, terkumpul dana Rp 110 triliun. Angka itupun masih estimasi minimal. Jumlahnya bisa saja lebih besar dari apa yang sudah disebutkan. Dengan begitu, potensi pemerintah menghimpun dana pembangunan semakin besar termasuk dalam pembangunan infrastruktur.
Revolusi MentalMasalah lain yang mestinya dijadikan kalkulasi terkait dengan pembelajaran masyarakat dengan bergulirnya program Jaminan Pensiun secara nasional. Selama ini, masyarakat Indonesia tidak pernah berfikir merencanakan hari tuanya, termasuk perencanaan keuangan. Terkait dengan edukasi, pemerintah sendiri sudah menunjukkan political will membantu supaya asuransi bisa memasuki sektor pendidikan dan juga sektor-sektor lain seperti iklan layanan masyarakat. Namun, tetap saja kesadaran masyarakat masih rendah dalam ikut merencanakan keuangannya.
Perubahan atau revolusi mental mungkin terjadi dengan diberlakukannya program Jaminan Pensiun (JP). Karena, ada program edukasi bersifat massif bagi masyarakat mulai memikirkan masa depannya. Indonesia merupakan negara yang besar dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa. Pertanyaannya, berapa banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perencanaan keuangan sehingga menjadi cakap mendanai hari tua mereka sendiri. Dalam hal ini, melalui PP Jaminan Pensiun (JP), negara dipastikan hadir sekaligus memberi pembelajaran bagi warganegara dalam merencanakan kehidupannya sekaligus mencapai kesejahteraan yang sudah diamanatkan dalam undang-undang.Dengan begitu, tujuan luhur bernegara sebagaimana yang diamanatkan founding fathers sebagai jembatan emas menuju kesejahteraan pun menjadi nyata.
Dilain pihak, pemberian pensiun bagi para pekerja melalui kesediaan mengiur pemberi kerja (perusahaan) dalam program pensiun merupakan terobosan yang diyakini bakal mendorong produktivitas. Peningkatan produktivitas merupakan dambaan setiap perusahaan, produktivitas mengandung pengertian berkenaan dengan konsep ekonomis. Tak bisa dipungkiri selama ini ada kesan program jaminan sosial, termasuk Jaminan Pensiun dinilai membebani perusahaan. Karena itu, banyak perusahaan yang kurang menaruh perhatian terhadap kesejahteraan sosial pekerjanya. Meski secara normatif perusahaan selalu bilang pekerja adalah aset perusahaan yang paling berharga, kenyataan menunjukkan hal yang berlainan. Melalui adanya Jaminan Pensiun, diyakini memberikan kenyamanan bagi pekerja meningkatkan kontribusi lebih besar dengan menjaga kelangsungan produksi atau perusahaan.
Seperti diketahui, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah. Data International Labour Organization (ILO) 2009 menempatkan Indonesia di posisi 83 dari 124 negara. Bahkan, International Management Development (IMD) menebutkan posisi Indonesia masih di atas Filipina yang menempati posisi 35 dari 57 negara di kawasan Asia. Rendahnya produktivitas kerja di Indonesia, karena tingginya angka kemiskinan. Padahal, produktivitas menjadi semakin penting dan strategis sebagai faktor penentu jangka panjang terhadap daya saing dan kesejahteraan masyarakat di era globalisasi. Tantangan utama Indonesia saat ini maupun ke depan, bagaimana meningkatkan produktivitas yang masih rendah.
Pemerintah pun dituntut menerapkan kebijakan dan strategi nasional yang mampu menggerakkan peningkatan produktivitas. Jika tidak, tenaga kerja Indonesia semakin jauh tertinggal dengan negara lain. Terkait masalah ini, kepastian tentang Jaminan Pensiun (JP) bagi pekerja akan memberikan dorongan tersendiri membangkitkan semangat atau sikap mental para pekerja melaksanakan tugas-tugasnya, dimana sikap mental ini ditunjukan kegairahan melaksanakan tugas dan mendorong bekerja secara lebih baik dan produktif. Karena, persoalan kesejahteraan pekerja ini sebenarnya merupakan hal yang sangat urgen. Dalam ilmu manajemen, tenaga kerja adalah resources yang paling berharga. Hanya dengan tenaga kerja yang penuh percaya diri, nyaman bekerja, sehat, mampu menjalankan tugasnya dan memberikan produktivitas optimal. Jika kondisi demikian dapat dijaga dan dikembangkan terus menerus, upaya meningkatkan produktivitas kerja akan dapat tercapai, bukan saja pada tingkatan mikro di kalangan perusahaan, tapi dalam skala nasional.
Dengan begitu, era baru pelaksanaan jaminan sosial yang menyeluruh sebagaimana sudah ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, terbentang di depan mata. Namun, semuanya kembali pada pemerintah untuk melaksanakan dengan kesungguhan hati melalui keluarnya PP program Jaminan Pensiun (JP) atau menunda-nunda pemberlakuannya. Karena, tak ada tujuan lebih penting dari tujuan sebuah negara selain mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga negaranya. Menjadi tugas bersama menjadikan konsepsi negara kesejahteraan (welfare-state) itu menjadi nyata. Negeri ini jelas butuh skema dan pelaksanaan dari sistem jaminan sosial yang serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga. Karena itu, komitmen memajukan kesejahteraan umum patut dipertanyakan bila pemerintah tak kunjung melaksanakan apa yang sudah diamanatkan dalam Undang-undang terkait pelaksanaan Jaminan Pensiun (JP).
Hal lain yang mesti diingat, sekalipun PP Jaminan Pensiun sudah keluar, pelaksanaannya di lapangan tidak semudah membalikkan tangan. Dibutuhkan waktu sosialisasi agar amanat perundangan itu bisa terlaksana dan terealisasi sehingga bukan menjadi angin surga, tapi implementasinya benar-benar bisa dirasakan oleh para pekerja nantinya. Artinya, jika sampai memasuki awal tahun 2015 nanti, PP itu masih belum keluar, pelaksanaannya bisa amburadul, persis yang dialami BPJS Kesehatan dalam mengemban amanat pemeliharaan kesehatan masyarakat karena minimnya waktu sosialisasi.
(*)