Pemerintah dianggap tidak mempunyai perencanaan yang baik untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Akhirnya, meski sudah membuka impor selebar-lebarnya harga daging tetap mahal.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo menganggap pemerintah gagal mengenÂdalikan harga daging. Meski suÂdah menggunakan sistem impor daging yang berdasarkan reÂferensi harga, tapi di lapangan harÂga daging masih tinggi.
Impor akan tetap dibuka seÂlama harga dagingnya masih di atas harga yang ditetapkan. TuÂjuan pemerintah dengan maÂsukÂnya daging impor bisa menekan harga,†ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun, kata Firman, sistem itu juga gagal seperti sistem kuota yang sebelumnya diterapÂkan pemerintah. Harga daging masih tinggi meski impornya dibuka.
Menurut politisi Partai Golkar itu, yang harus dilakukan pemeÂrintah adalah menghitung keÂbutuhan daging dalam negeri, berapa yang bisa disuplai dalam negeri dan kekuranganya diimpor.
Sistem kuota yang lama juga harus diperbaiki dan disempurÂnakan. Datanya harus dihitung kembali supaya tidak salah yang menyebabkan lonjakan harga.
Firman khawatir dengan sistem referensi harga untuk patokan impor daging. Kebijakan itu justru akan membunuh peternak lokal dan target swasembada daging sulit tercapai.
â€Saat ini semuanya dibuat abu-abu. Selain itu, data Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian berbeda,†jelasnya.
Kementerian Pertanian (KeÂmentan) mengusulkan kepada KeÂmenterian Perdagangan (KeÂmendag) agar acuan impor daÂging sapi dikembalikan pada jumlah kebutuhan, bukan lagi berÂdasarkan referensi harga.
Dirjen Peternakan dan KeseÂhatan Hewan Kementerian PertaÂnian (KeÂmentan) Syukur Iwantoro mengaÂtakan, pada Oktober lalu ada keleÂbihan pasokan daging sapi. Surplus terjadi karena dari total kebutuhan daging sapi nasional 46 ribu ton dan yang masuk ke dalam negeri mencapai 180 ribu ton.
Artinya, ada selisih sekitar 134 ribu ton daging sapi impor. DeÂngan alasan ini pihaknya meÂngusulkan agar acuan impor daging dikembalikan pada sistem kebutuhan dalam negeri.
Dengan referensi harga, daging sapi tidak langsung muÂrah. Masih mahal juga,†ujarnya.
Syukur khawatir, jika tetap menggunakan referensi harga, daging sapi impor justru mengalir ke pasar ritel. Tapi harga tetap mahal.
Karena itu, dia curiga, keleÂbihan daging sapi impor yang keÂbutuhannya untuk industri hotel, restoran dan katering merembes ke pasar ritel. Padahal, impor daÂging sapi hanya boleh ditujukan untuk hotel, restoran dan kafe (hoÂreka), bukannya pasar tradiÂsional. Sebab itu, diperlukan peÂngawasan secara konsisten, ke mana impor daging sapi mengaÂlir. Apalagi harganya tidak kunjung turun.
Kementan sebelumnya menguÂsulkan importasi sapi dan daging sapi tahun 2015 dikoreksi. BerÂdasarkan perhitungan Kementan, idealnya importasi sapi dan daging sapi hanya berada di kisaÂran 45.300 ton. Dengan perÂhituÂngan itu, impor hanya akan menÂcapai sekitar 10 persen dari total kebutuhan daging sapi yang menÂcapai 450.000 ton.
Syukur mengatakan, suplai sapi domestik sudah dapat memenuhi hingga 90 persen. Ini hasil dari perbaikan, seperti Rumah Potong Hewan (RPH) serta pembenahan jalur distribusi sentra produksi dan konsumsi. ***