Pemerintah didesak melakukan percepatan dan memberikan insentif pembangunan pipa gas untuk bisa memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri.
Dirjen Pengembangan PerÂwilayaan Industri Kementerian PeÂrindustrian (Kemenperin) Imam Haryono berharap pÂeÂngemÂbangan infrastruktur pipa gas terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan gas kaÂwasan industri.
Untuk meningkatkan perÂtumbuhan industri nasional diÂperlukan penyedian energi baik listrik, gas maupun batubara. ApaÂlagi, kebutuhan gas industri setiap tahunnya bakal mengalami peningkatan,†ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Tahun depan, kata Imam, keÂbutuhan gas akan mencapai 482.937
Million British Thermal Unit (MMBTU), lalu 2020 menÂjadi 621.712 MMBTU, kemudian 2025 menjadi 782.691 MMBTU dan 2035 menjadi 1.559.831 MMBTU.
Namun, yang terjadi saat ini, cadangan gas bumi yang besar lokasinya sangat jauh dari kaÂwasan industri yang banyak berada di Sumatera dan Jawa. Karena itu, untuk menjamin kelancaran paÂsokan gas ke inÂdustri diperlukan dukungan infrastruktur.
Menurut Imam, pemerintah punya kewajiban menÂjamin ketersedian bahan baku dan energi dalam negeri. Hal ini baÂgian untuk meningkatkan daya saing industri.
Ke depan diperlukan peÂngembangan infrastruktur pipa gas untuk menyalurkan gas dari sumbernya ke kawasan dan senÂtra-sentra produksi,†ucapnya.
Direktur Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, jika dibanding BBM, cadangan gas Indonesia masih lebih besar. Apalagi, pemeÂrinÂtah juga masih melakukan impor BBM untuk memenuhi kebuÂtuhan dalam negeri.
Menurut Marwan, berdasarkan data PT Pertamina (Persero) seÂtiap bulannya Indonesia masih mengÂimpor 13 juta barel untuk memeÂnuhi kebutuhan solar (30 perÂsen) dan premium (70 persen) kaÂrena kapasitas kilangnya terbatas.
â€Kilang Indonesia hanya mamÂpu menghasilkan sekitar 825 ribu barel minyak mentah per hari dan hanya menghasilkan 75 persen BBM. Selain itu, cadangan miÂnyak akan habis dalam 11 tahun jika tidak ada temuan sumber baru,†urai nya.
Di lain pihak cadangan gas bumi masih besar. Per harinya, menurut Marwan, bisa memÂproduksi sampai 17,5 juta ton gas. Tapi hingga kini konsumsi dalam negeri baru 1,5 juta ton. Alhasil sisanya diekspor karena ada kontrak masa lalu.
Dia mengatakan, permintaan gas dalam negeri juga terus melonjak beberapa tahun terÂakhir. Akhir 2014, permintaan gas kota naik 224-956 juta kaki kubik. Dengan peningkatan perÂtumÂbuhan gas domestik, ke depan pemerintah harus bisa mengÂintegrasikan sektor hulu dan hilir unÂtuk menjaga pasokan gas dalam negeri.
Marwan berharap pemerintah memberikan kemudahan dan insentif bagi para investor yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan inÂfraÂstruÂkÂtur gas. Insentif bisa berupa bea masuk dan
tax holiday. Meski begitu, kendalinya tetap di tangan pemerintah.
Untuk mengelola ini pemeÂrintah bisa menunjuk Pertamina. Apalagi Pertamina memiliki kemampuan mengelola sektor gas secara komprehensif baik di hulu maupun di hilir dan salah satu produsen gas terbesar di dunia,†katanya.
Dengan demikian, kemanÂdiÂrian energi yang menjadi tujuan Pemerintahan Jokowi-JK akan tercapai.
Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto mengatakan, komitÂmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan domestik harus diiÂringi dengan ketersediaan infraÂstruktur dan keekoÂnoÂmiÂan peÂngemÂbangan lapangan gas.
Menurut dia, pemerintah mesti menyediakan infrastruktur gas seiring habisnya kontrak ekspor gas. Misalkan kontrak ekspor gas habis pada 2018, maka inÂfraÂstruktur sudah tersedia,†katanya.
Kontrak ekspor, lanjut Dito, tidak bisa langsung dialihkan ke dalam negeri karena berjangka panjang. Sifat gas yang tidak bisa disimpan seperti minyak, memÂbutuhkan kontrak jangka panjang agar memberikan kepastian bagi produsen dan pembeli.
Sebelumnya, Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) KeÂmenterian Perindustrian HarÂjanto mengungkapkan, kunci peÂngemÂbangan industri maÂnuÂfaktur ialah ketersediaan bahan baku dan pasokan energi. NaÂmun sayang, ketersediaan gas belum optimal untuk menopang proses produksi. ***