. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menyampaikan mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR dan membentuk pimpinan DPR tandingan untuk memilih pimpinan alat kelengkapan DPR.
Pengamat politik senior Muhammad AS Hikam menilai manuver KIH ini sebagai kekonyolan politik. Bukan tidak mungkin, kata dia, manuver ini akan menciptakan krisis politik yang serius di saat Pemerintah Presiden Joko Widodo baru berusia kurang dari 10 hari.
"Apakah ada landasan hukum, termasuk Tatib di DPR, yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk membuat sebuah mosi tidak percaya dan membentuk sebuah kepemimpinan tandingan? Jika tidak ditemukan, maka manuver ini akan gagal bahkan sebelum mulai," tulis Hikam dalam akun facebooknya (Rabu, 29/10).
Di lain pihak, Hikam melihat, upaya KIH meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang MD-3 belum tentu akan berhasil dan atau menghentikan konflik dan krisis di Parlemen.
Dalam bacaan Hikam, mosi tidak percaya dan membentuk kepemimpinan tandingan di DPR sebagai jalan radikal dan tak biasa yang diambil KIH karena merasa sudah tidak ada jalan kompromi dalam perebutan posisi pimpinan alat-alat kelengkapan di DPR setelah sebelumnya mereka kalah 5-0 dari KMP dalam proses politik di parlemen.
Menurut Hikam, apa yang terjadi ini menunjukkan bahwa pertarungan antara Koalisi Merah Putih vs KIH masih terus berlangsung dan bahkan makin seru, kendati konon sudah terjadi rekonsiliasi antara Presiden Jokowi dengan Ketum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.
Meski begitu Hikam mengatakan, masih perlu dilihat apakah manuver ini hanya "bluffing" politik atau langkah serius yang mencoba merombak total kepemimpinan DPR di bawah KMP. Jika yang kedua yang terjadi, ini tentu akan menyeret para pendukung masing-masing kubu di luar Parlemen dan bahkan gema serta dampaknya bisa sampai di akar rumput. Sebab jika terjadi dead lock dalam proses politik di DPR, maka otomatis akan sangat mempengaruhi agenda kerja Pemerintah yang harus segera dibahas di Parlemen.
"Jika Pemerintah mengakomodasi kepentingan politik hanya dari salah satu kubu, maka probabilitas terjadinya konflik politik antara Pemerintah dan DPR akan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan memicu terjadinya krisis politik yang implikasinya tentu sampai di masyarakat luas di seluruh negeri," demikian Hikam.
[dem]