Putusan Mahkamah Agung (MA) yang diketok ketua Artidjo Alkostar dan mengabulkan tuntutan jaksa soal dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi terus menuai kritik.
Menurut ahli hukum lingkungan, Linda Yanti Sulistiawati, putusan MA terhadap Ricksy Prematuri, direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Herland Bin Ompo, direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ), keduanya rekanan Chevron, tersebut, telah mengabaikan UU Lingkungan. Pasalnya, hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa, semuanya terkait dengan peraturan dan UU di bidang lingkungan.
"Semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam UU Lingkungan," ujar Linda, Rabu (8/10).
Menurut Linda, jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu UU, apalagi yang bersifat khusus seperti UU Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan UU tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud. Terlebih lagi jika penegak hukum berkesimpulan bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan sehingga dianggap “proyek fiktif†atas dalih telah melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup soal teknik bioremediasi dan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan, khususnya menyangkut izin pengolahan limbah.
"Saya heran apabila UU Tipikor yang digunakan oleh MA untuk mendakwa dan memvonis dalam kasus ini karena kedua kontraktor ini hanya memiliki hubungan kontraktual dengan Chevron bukan dengan pemerintah dan bukan menggunakan uang pemerintah," tengarainya.
Kritik serupa disampaikan oleh pemerhati hukum kontrak, Najib Ali Gisymar. Menurut Najib, kedua kontraktor ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah.
"Jadi tidak mungkin mereka (Ricksy dan Herland) bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi, sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut. Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata," tegas Najib.
Ia pun sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus Ricksy yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini. Selain itu, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli juga sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus ahli, plus pihak yang pernah kalah tender.
"Apabila putusan MA ini dibiarkan menjadi yurisprudensi baru maka akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia. Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi," jelas Najib seraya menambahkan bahwa perlu adanya upaya hukum lain seperti Peninjauan Kembali (PK) atas kasus Bioremediasi tersebut.
"Ketua MA harus turun tangan karena ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara," imbuhnya.
[wid]