Kondisi energi Indonesia sudah dalam keadaan darurat. Produksi dan pasokan sumber energi seperti minyak menipis, sehingga untuk memenuhi kebutuhan harus mengimpor dari negara lain.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinan Hutahaean di Jakarta (Jumat, 3/10).
"Saya tidak mengerti apakah ini tidak dipahami oleh pemangku kebijakan negara kita ini atau memang sengaja dipermainkan dengan bahasa politik yang meninabobokan masyarakat," keluhnya.
Dia menjelaskan produksi minyak dunia sekitar 95 juta barel per hari, dimana separuhnya harus dikonsumsi negara produsen, separuhnya sekira 45 juta barel diperjualbelikan, dan 25 juta barel tiap harinya dibeli lima negara importer terbesar, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Sedangkan Indonesia di urutan ke-14 untuk mendapatkan pasokan minyak impor.
"Yang paling mengkhawatirkan adalah masih mampukah 5-10 tahun lagi berebut minyak impor di pasar internasional, sementara bangsa kita bangsa yang lemah. Karena, siapa yang kuat secara militer maka dia yang akan mendapatkan pasokan minyak di pasar internsional," demikian Ferdinan.
Direktur Global Future Institute (GFI) Hendrajit menilai segala rencana dalam rangka memerangi mafia migas yang akan dilakukan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo belum menunjukan skema yang tepat. Pasalnya segala wacana yang sudah dibuat tidak ada yang menyentuh mafia di level hulu.
"Skema yang dimiliki para mafia itu sangat struktural dan kaderisasi. Mereka meletakkan agen di satu institusi pemerintahan untuk mempengaruhi suatu kebijakan," terangnya.
Hendrajit menuturkan, kader-kader mafia yang diletakkan ke dalam instansi pemerintahan biasanya berada di level-level yang di bawah seperti di eselon 3 atau eselon 1 bukan tingkat menteri. Akan tetapi, meski kedudukannya di bawah tapi bisa sangat berpengaruh terhadap kebijakan.
[dem]