Sidang pembacaan vonis terhadap mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum kemarin (Rabu, 24/9) diwarnai dissenting opinion dari dua anggota hakim.
Dua hakim tersebut yakni Slamet Subagio dan Joko Subagio berpendapat, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dijerat terhadap Anas tidak tepat. Tuntutan JPU dalam dakwaannya dianggap tidak memiliki landasan yuridis formil.
"Sungguh menyedihkan ketua majelis hakim tidak mampu mengikuti sikap dan keberanian dua anggota hakim menyatakan Anas tidak terbukti bersalah," kata pemerhati politik dan hukum dari The Indonesian Reform, Martimus Amin, Kamis (25/9).
Menurut Martimus, sikap berbeda di antara anggota majelis hakim ini patut disesalkan. Sebab tidak ada kesatuan mufakat dalam dalam memutuskan perkara Anas secara adil. Sampai-sampai harus mengorbankan independensi pengadilan akibat terperangkap persepsi dakwaan dan melegitimasi penyidikan sesat berujung vonis sesat.
Sedari awal, ia menilai kasus Anas memang penuh kejanggalan. Mulanya penyidik KPK mentersangkakan Anas lewat pintu masuk tudingan penerimaan mobil Harrier dan kasus Hambalang. Kemudian diperluas dan Anas divonis dengan ketentuan TPPU yang semakin dinilainya tidak ada relevansinya dan jauh dari sangkaan semula.
Kasus Anas, sebetulnya tidak terlepas dari pengaruh peristiwa yang mengharubirukan jagat politik sebelumnya. Yakni ketidaksenangan Ketua Dewan Pembian Demokrat sekaligus Presiden RI, SBY atas terpilihnya Anas sebagai ketua umum di Kongres PD Bandung Hal ini lantas melahirkan titah kramat paduka SBY mendesak lembaga KPK mengambil langkah hukum terhadap Anas.Kemudian diikuti pencopotan dan pengambilalihan total wewenang serta kepemimpinan Anas di PD.
"Ada kuasa gelap yang sangat bernafsu menamatkan karier dan masa depan politik Anas. Mendung bergelayut di pengadilan tipikor. Vonis Anas masih menyisakan kegelapan dan kutukan," ucapnya.
[wid]