Distribusi bahan bakar minyak (BBM), khususnya solar bersubsidi untuk nelayan, harus terus dikawal. Hal itu penting dilakukan agar kebijakan tersebut tepat sasaran.
“Nelayan sempat resah deÂngÂan adanya pembatasan subsidi solar. Bila dibatasi, waktu operÂasional mereka bisa lebih pendek. Kekhawatirannya ketika stok soÂlar yang biasa digunakan habis, bisa menghambat jadwal pelaÂyaran dan mengurangi pengÂhaÂsilan nelayan,†kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan InÂdustri (Kadin) Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto di Jakarta, kemarin.
Kadin mencatat, ada penguÂraÂngan solar bersubsidi hingga 20 persen dari kuota normal, sehingÂga total distribusi hingga akhir taÂhun hanya mencapai 720.000 kiloliter (KL) dari asumsi sebeÂlumnya 900.000 kiloliter.
Sementara aturan yang dikeÂluarÂkan Badan Pengatur Hilir MiÂnyak dan Gas Bumi (BPH MiÂgas), solar bersubsidi diprioÂritasÂkan untuk kapal dengan bobot mati di bawah 30 gros ton (GT). Ada pembatasan subsidi bagi kapal-kapal dengan bobot mati di atas 30 GT.
Yugi berharap, pemerintahan Jokowi memprioritaskan kepasÂtian ketersediaan solar bersubsidi untuk nelayan dalam 5 tahun ke depan. Perlu dikaji lebih jauh tenÂtang ketidak-konsistenan BBM bersubsidi baik dari sisi reguÂlaÂsinya atau pendistribusiannya.
“Kita harapkan ada sistem yang baik, terjadwal, rutin, detailÂnya seperti apa agar semua menÂjadi konsisten. Apa yang mengÂhambat, kita lihat juga apakah dari sisi regulasinya ada yang perlu diubah atau justru dari maÂsalah operasionalnya,†jelasnya.
Yugi menyatakan, 60 persen biaya operasional nelayan untuk bahan bakar dan diharapkan paÂsokannya aman. Karena kalau ada pembatasan, tentu akan memÂperpendek waktu operaÂsional dan ujungnya akan mengurangi pengÂhasilan dan biaya operaÂsional bisa ikut naik.
Pihaknya juga berharap, peÂmeÂrintah bisa memiliki data-data vaÂlid terkait berapa nelayan yang bisa memiliki akses ke Stasiun PengiÂsian Bahan Bakar Umum (SPBU).
“SPBU khusus nelayan itu seÂbeÂnarÂnya ada, tetapi beÂlum jelas keberlangsungannya seÂperti apa. Kita harapkan ada renÂcaÂna yang strategis untuk masalah ini, seÂhingÂga penyaluran itu bisa beÂÂnar-benar teÂpat sasaÂran,†ceÂtusnya.
Senior Vice President Fuel MarÂketing and Distribution PT PerÂtamina Suhartoko optimis, alokasi tambahan distribusi BBM bersubsidi dapat diserap nelayan tanpa menimbulkan kelangkaan.
Data yang dirilis Pertamina mengenai penyerapan BBM berÂsubsidi untuk sektor nelayan mencapai 1,2 juta KL hingga Juli 2014. Selain itu, jika mengacu pada distribusi tahun lalu, reaÂlisasi total BBM bersubÂsidi untuk nelayan mencapai 1,7 juta KL, sehingga tambahan 702.540 KL akan mencukupi kebutuhan.
Poros Maritim DuniaWacana bakal dibentuknya Kementerian Maritim diapresiasi sebagai gagasan cerdas guna meÂmanfaatkan sektor kelautan.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut PerÂtanian Bogor (IPB) Rokhmin DaÂhuri mengatakan, tidak ada yang meragukan Indonesia akan menÂjadi negara yang maju, makmur dan sejahtera bila fokus peÂmeÂrintahan ke depan bisa memÂberi perhatian yang besar terÂhadap sektor ekonomi kelautan.
“Kemunculan Kementerian MaÂritim merupakan itikad baik untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai poros maritim dunia,†kata Rokhmin.
Menurut bekas Menteri KeÂlautÂan dan Perikanan ini, gagaÂsan itu tidak mustahil direalisaÂsikan, mengingat potensi dan sumber daya maritim selama ini belum disentuh secara maksimal.
Rokhmin menyebut, di wilaÂyah pesisir dan laut Indonesia terÂkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam.
“Ini potensi yang sangat besar. Sayangnya, paradigma pembaÂngunan ekonomi dalam negeri selama ini masih berpusat di daÂrat, belum bergeser ke pengemÂbaÂngan berbasis kelautan,†jelas pria yang saat ini menjabat sebaÂgai Ketua Umum Gerakan NeÂlayan dan Tani Indonesia (Ganti) tersebut. ***