Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru baru dilantik, John W Purba, SH harus mampu mengubah kultur dan perilaku jaksa-jaksa di seluruh provinsi tersebut yang terkenal lamban, lelet dan suka mewariskan utang pekerjaan kepada pimpinan kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi berikutnya.
Bahkan ada yang sampai 5 atau 6 kali ganti Kajari/Kajati-pun kasus-kasus yang ditangani terutama kasus korupsi, penyelidikan dan penyidikannya jalan ditempat, meskipun pemberian status tersangka melalui penetapan Kajari sudah diterbitkan, namun berkas perkara dan tersangkanya tidak pernah dilimpahkan ke tahap penuntutan dengan berbagai alasan yang tidak masuk diakal.
Menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, budaya kerja menimbun perkara korupsi, menahan-nahan berkas perkara dan tersangkanya lebih terasa dan terlalu berani dilakukan apabila kasus korupsi yang sedang ditangani itu sudah menyangkut, kepala daerah atau mantan bahkan calon kepala daerah.
Sebagai contoh kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Sikka Aleks Longginus yang penyidikan dan penetapan tersangkanya sejak tahun 2006 sampai yang bersangkutan dua kali maju sebagai calon Bupati Sikka dan caleg DPRD Sikka, namun berkas perkaranya tidak pernah dilimpahkan ke penuntutan atau dihentikan penyidikannya oleh Kajari Maumere.
"Semua Kajari yang pernah menangani kasus korupsi mantan Bupati Aleks Longginus ini selalu beralasan bahwa kasusnya tidak dapat dilimpahkan ke tahap Penuntutan karena JPU yang menangani kasus korupsi dimaksud sudah pindah dan kurangnya tenaga penyidik," jelas Petrus (Senin, 22/9).
Padahal menahan kasus korupsi yang ditangani dalam penyidikan itu juga selain bertentangan dengan Undang-Undang dimana Kejaksaan/Kepolisian dan KPK diharuskan mendahulukan penuntutan kasus korupsi dari perkara yang lain, juga dari aspek HAM menahan perkara dengan cara terlalu lama mempertahankan status tersangka seseorang terlalu lama juga sudah melnggar HAM.
Begitu pula dengan kasus korupsi pembangunan Gedung DPRD Nagekeo yang diduga dilakukan oleh Bupati Elias Joe dan Wakilnya dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp. 10 miliar lebih.
Kasus ini meskipun Kajati NTT sebelumnya sudah memerintahkan Kajari Ngada untuk segera memberi status Tersangka kepada Bupati Elias Joe dan Wakilnya disertai dengan bantuan Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi NTT yang sengaja dibentuk untuk mempercepat penanganan kasus ini, namun hingga saat ini Kajari Ngada masih memperlambat penyidilkannya, padahal posisi Kajati Mangihut Sinaga pada waktu itu akan diganti kepada Kepala Kejaksaan Tinggi NTT yang baru.
Jika benar hingga pergantian Kajati NTT Mangihut Sinaga pun kasus ini tidak kunjung diangkat ketahap penuntutan, patut diduga bahwa perintah menaikan kasus Elias Joe ke status Tersangka hanya gertakan Kajati untuk menghidupkan ATM, buktinya hingga saat ini penanganan kasus dugaan korupsi Bupati Ngada Elias Joe dan Wakilnya tidak jalan.
Hal ini menandakan ada titik temu antara kultur Kejaksaan yang korup dan kehendak/niat Elias Joe yang hendak jadi Bupati Nagekeo pada pemilukada Nagakeo 2013 yang lalu yang meskipun berbagai pelanggaran dalam pemilukada terungkap dengan bukti-bukti pendukung yang lengkap termasuk Kejaksaan Negeri Ngadapun tengah melakukan penyelidikan kasus korupsinya, akan tetapi Kejaksaan Negeri Ngada seolah-olah dibius untuk tidak melakukan percepatan penindakan kasus kurupsi Elias Joe dkk tersebut.
"Karena itu Kepala Kejaksaan Tinggi NTT John W Purba, SH harus mampun mengubah kultur korupsi dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan elit-elit di NTT, terkait dengan rencana elit-elit yang akan maju dan maju lagi dalam pilkada," pungkasnya.
[zul]