tarif dasar listrik (TDL)
Selain rencana kenaikan BBM, industri dan masyarakat bakal dihantui lagi oleh kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahun depan. Pasalnya, subsidi listrik yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2015 lebih rendah dibanding tahun ini.
Dalam rapat kerja dengan KoÂmisi VII DPR pekan lalu, peÂmeÂrintah dan DPR sepakat meneÂtapkan subsidi listrik taÂhun depan Rp 68,69 triliun. AngÂka ini turun jauh dibanding subÂsidi listrik taÂhun ini yang menÂcapai Rp 103,8 triliun. LaÂlu, apakah tahun depan bakal ada kenaikan TDL lagi?
Dirjen Ketenagalistrikan KeÂmenÂterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman buÂru-buru membantahnya. Dia hanya mengatakan, pemerintah beÂlum memiliki rencana meÂnaikÂkan tarif listrik tahun depan. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya usulan kenaikan tarif dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2015.
“Kayaknya begitu, nggak ada,†ujar Jarman.
Kendati begitu, dia mengakui tahun depan pemerintah berenÂcana menerapkan penyesuaian tarif listrik kepada enam goloÂngan yang subsidi listriknya sudah dicabut. Keenam golongan itu, Industri I3 non terbuka (Tbk), pelanggan rumah tangga R3 dengan 3.500-5500 Volt Ampere (VA), pelanggan pemerintah (P2) dengan daya di atas 200 KV, golongan Rumah Tangga (R1) dengan daya 2.200 VA, golongan pelanggan penerangan Jalan Umum (P3) dan golongan peÂlanggan Rumah Tangga (R1) dengan daya 1.300 V.
Menurut Jarman, besaran subsidi listrik diperoleh dari perhitungan asumsi harga BBM sebesar Rp 11.900 per liter, deÂngan Indonesia Crude Price (ICP) sebesar 105 dolar AS per barel.
“Dari Rp 68,69 triliun itu seÂbanyak 86,8 persennya diÂpeÂrunÂtukkan bagi pelanggan Rumah Tangga R1 450 Volt Ampere (VA) dan 900 VA. Jumlahnya sekitar Rp 58,2 triliun,†terangnya.
Kepala Badan Kebijakan FisÂkal Kementerian Keuangan (KeÂmenkeu) Andin Hadiyanto meÂngatakan, saat ini yang masih mendapat subsidi dari pemerintah adalah pelanggan di bawah 900 VA. Sedangkan yang lainnya suÂdah tidak lagi disubsidi.
Dalam catatan Andin, pelangÂgan listrik 450-900 VA tidak pernah mengalami kenaikan TDL selama 10-11 tahun. PaÂdahal daÂlam aturan, tidak ada larangan untuk menyesuaikan harga bagi rumah tangga goloÂngan tersebut.
“Tidak ada yang bilang tidak boleh naik (pelanggan 450-900 VA). Kalau harga 100, dia cuma bayar 30 misalnya, itu kan terlalu sedikit. Subsidi harusnya nggak lebih dari 50 persen. Kalau lebih namanya bukan subsidi,†tegas dia.
Namun, dia sendiri tidak mau memberikan kepastian apakah tahun depan bakal ada kenaikan untuk golongan rumah tangga 900 VA ke bawah.
Direktur Utama PLN Nur Pamudji meminta subsidi listrik diberikan kepada pelanggan yang berhak mendapatkannya. SeÂdangÂkan untuk perusahaan, peÂmerintah tidak lagi memberikan subsidi.
Nur menilai, subsidi yang dibeÂrikan kepada perseroan saat ini tidak tepat. “Saya mengÂinginkan ini bisa direalisasikan tahun dapan. Ada hal yang ingin kami capai, supaya masyarakat bisa berhemat,†tukasnya.
Menurut dia, subsidi listrik lebih tepat diberikan langsung kepada pelanggan PLN yang berhak yakni pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Dalam penyaÂlurannya, pemerintah bisa mengÂgunakan data base yang dimiliki PLN. Dengan cara ini maka maÂsyarakat bisa berhemat.
Pengamat energi Fabby TumiÂwa mengatakan, penurunan subsidi listrik secara drastis akan mengakibatkan beban biaya kalaÂngan industri semakin meÂningÂkat. Dengan adanya peneÂrapan peruÂbahan, otomatis enam goÂlongan pelanggan yang sudah tiÂdak disubsidi akan kena batunya.
Menurut Fabby, dengan adanya penurunan subsidi, maka industri dan golongan rumah tangga di atas 900 VA harus siap-siap dengan perubahan tarif listrik. Namun, dia meminta pemerintah harus mengawasi kinerja keuangan PLN.
Pasalnya, dengan penurunan subsidi tersebut jangan sampai keuangan perusahaan pelat merah itu memburuk. Selain itu, perlu ada mekanisme pengendalian biaya pokok produksi (BPP) PLN oleh pemerintah.
Pengurus Harian Yayasan LemÂbaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai pemerintah gagal melindungi konsumen bawah.
Menurut Tulus, dampak peÂnguÂrangan subsidi ini justru mengenai konsumen bawah serta Usaha Mikro Kecil dan MeÂnengah (UMKM).
“Skema pemerintah itu lebih bersifat politis ketimbang skema berkeadilan sosial sehingga terlihat sangat tidak
fair,†ujarÂnya. ***