Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sebulan menjelang berakhirnya pemerintahan SBY, Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyaluran pupuk subsidi.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo meminta pelakÂsanaan subsidi pupuk dievaluasi karena banyak yang salah saÂsaÂran. Pola subsidinya harus diÂubah dari subsidi langsung menÂÂjadi subÂsidi harga. Sehingga, di lapaÂngan yang ada hanya harga pasaran dan petani. Kedua pihak inilah yang membutuhkan subÂsidi.
Penyaluran pupuk bersubsidi berdasarkan Rencana Daftar KeÂbuÂtuhan Kelompok Petani (RDÂKK) yang memproduksi taÂnaÂman pangan seperti padi. NaÂmun, meÂnurut Firman, pengÂguna pupuk subsidi di luar petani terÂnyata baÂnyak. Seperti pengusaha tanaÂman hortikultura dan perkeÂbunan yang justru menyerap pupuk urea cuÂkup besar.
Dia menuding, tidak disiplinÂnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelaksana untuk mengÂawal sampai tingkat bawah seÂhingga penyimpangan penyaÂlahÂgunaan selalu terjadi di tingkat distributor hingga penyalur.
Oleh karena itu, Komisi PengaÂwasan Pupuk dan Pestisida (KP3) di bawah kendali SekreÂtaris DaeÂrah (Sekda) di tingkat kabuÂpaten, kota dan provinsi tidak berÂjalan. Akibatnya, pupuk subsidi yang disalahgunakan.
“Berapapun besarnya kalau sisÂtemnya tidak diperbaiki akhirÂnya pupuk selalu kurang. Apalagi yang menggunakan pupuk urea ini tidak hanya tanaman pangan karena pengawasannya lemah. Pupuk subsidi ini berubah fungsi untuk perkebunan dan tanaman hortikultura,†jelas Firman.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengaku sudah gerah dengan banyaknya pupuk subsidi yang tidak diterima oleh para peÂtani di daerah. Karena itu, piÂhakÂnya menggandeng KPK unÂtuk mengkaji terjadinya penyeÂleÂwengan pupuk subsidi.
“Kami bersama KPK sedang meÂlakukan kajian soal distribusi pupuk ini. Mudah-mudahan nanti akan ada rekomendasi,†ujar dia.
Menurut politisi PKS itu, kerja sama itu dilakukan agar penyeleÂweÂngan pupuk subsidi bisa dikeÂtahui. Apabila ada indikasi terjaÂdinya kerugian negara, maka bisa ditindak langsung oleh lemÂbaga anti korupsi itu.
Dengan menggaet KPK, pihakÂnya yakin distribusi pupuk akan tepat sasaran dan memenuhi daeÂrah-daerah yang sebelumnya tiÂdak tersalurkan.
Untuk diketahui, Kementan menyiapkan dua skenario pengaÂjuan anggaran pupuk subsidi unÂtuk tahun depan, yakni Rp 24 triÂliun atau Rp 26 triliun. Angka terÂsebut naik sekitar Rp 4 triliun diÂbanding alokasi pupuk bersubÂsidi tahun ini, yaitu Rp 22,16 triliun yang dibaÂyarkan dalam dua skema.
Menurut Suswono, penyimpaÂngan terjadi karena disparitas harga pupuk subsidi dan non subÂsidi. Saat ini, dispaÂritas harga puÂpuk yang disubsidi dengan yang tidak disubsidi cukup jauh bisa mencapai Rp 2.200 per kilogram (kg).
Harga pupuk yang disubsidi sebesar Rp 1.800 per kg, seÂdangÂÂkan pupuk non subsidi Rp 4.000 per kg, sehingga rawan peÂnyimÂpangan. Jika kebocoran masih tinggi seperti itu, lebih baik subÂsidi pupuk yang menÂcapai Rp 23 triliun diberikan langsung ke petani dengan kompensasi lain.
Selama ini, kata Suswono, baÂnyak penyimpangan sehingga puÂpuk subsidi tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu dan harganya tidak tepat sesuai dengan harga yang ditentukan. Dia berharap, kerja sama dengan KPK akan menghasilkan rekomendasi yang baik agar para petani yang lebih membutuhkan tetap bisa meÂmaÂkai pupuk subsidi tersebut.
Suswono mengatakan, banyakÂnya penyimpangan pupuk subsidi akibat pengawasan di daerah yang lemah.
“Kalau kontrolnya lemah maka pupuk subsidi akan lebih banyak disalahÂgunakan,†ujarnya. ***