Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan tiket elektronik (e-ticketing) di beberapa koridor bus TransJakarta ternyata tak efektif. Penumpang masih kerepotan dan kerap jadi korban.
Hingga kini, masih banyak warga, terutama pengguna TransJakarta yang mengeluhkan e-ticketing ini. Asmania misalnya, karyawati sebuah bank swasta ini mengaku baru saja dibuat kesal oleh penerapan e-ticketing.
Ia mengungkapkan, saat naik Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) jurusan Grogol-Cibinong, ia harus bayar tiket double. Pertama, saat masuk halte bus TransJakarta ia diharuskan membayar Rp 3.500, kemudian bayar lagi di dalam bus APTB, Rp 12.000.
"Bikin ribet penumpang. Kita kan naik APTB nggak bisa di sembarang jalan, harus lewat halte bus TransJakarta. Masa tiketnya harus dijual terpisah, mana katanya yang terintegrasi? Rugi dong kalau tiap hari pulang-pergi bayar double terus," kesal wanita yang biasa disapa Nia ini.
Hal ini, katanya, mulai terjadi usai Lebaran, tepatnya sejak PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) tidak lagi menjual tiket 1 Agustus lalu untuk bus luar Jakarta yang selama ini terintegrasi dengan jalur busway. Apalagi, saat wagub DKI berencana agar bis APTB juga harus menerapkan sistem pembayaran dengan menggunakan kartu e-money alias tanpa uang cash lagi.
"Kebijakannya sebenarnya bagus. Tapi, infrastrukturnya memadai tidak? Kalau saldonya tiba-tiba habis, halte tidak menyediakan isi ulang, masa harus cari bank dulu? Kan nggak semua halte deket sama bank," keluh Nia.
Harusnya sekarang, lanjutnya, halte bus TransJakarta tetap menjual tiket biasa dulu untuk bis APTB. Karena bila tidak, Nia menilai, hal ini sudah merugikan masyarakat dan pengusaha bis, karena beberapa trayek dari Cibinong sebagian sudah beralih pakai APTB.
Anggota masyarakat lainnya, Sunardi, warga Pekalongan yang baru datang ke Jakarta ini, merasa keberatan dengan sistem tersebut. Pasalnya, dia yang datang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, terpaksa harus membeli tiket elektronik yang harganya dibanderol Rp 40.000. Padahal ia hanya menggunakannya sekali saja.
“Harusnya tiket seperti dulu masih tetap diadakan. Sehingga penumpang yang tidak punya cukup uang bisa menggunakan TransJakarta tanpa harus membeli kartu perdana e-ticketing yang mencapai Rp 40.000 itu,†pintanya.
Saat ini berdasarkan data PT TransJakarta, jumlah penumpang yang menggunakan e-card baru mencapai 77 ribu penumpang atau 22 persen persen dari total 350 ribu penumpang per hari yang tercatat menggunakan bus TransJakarta.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Antonius Kosasih mengatakan, selama ini para pengguna jasa bus TransJakarta memang masih enggan memiliki e-card karena fasilitas untuk top-up saldo tidak ada di setiap halte. Mereka harus ke bank yang mengeluarkan kartu untuk menambah saldo.
“Maka, kami akan mengupayakan fasilitasi top-up secara bertahap, karena kita tidak bisa memaksa orang memakai e-ticketing kalau dia tidak bisa top-up e-card-nya. Kami juga akan menyediakan fasilitas top-up saldo di setiap halte. Jadi diharapkan semua masyarakat menggunakan e-ticketing,†ujarnya.
Terkait hal ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, melalui sistem e-ticketing, Pemprov DKI Jakarta dan PT TransJakarta dapat mengetahui database perjalanan para penumpang setiap harinya. “Setiap penumpang kan harus tap (tapping kartu elektronik). Tap itu untuk database bank, siapa penumpangnya. Dengan begitu, bisa tahu pola perjalanan penumpang baik dari waktu maupun tujuan,†katanya.
Penggunaan e-ticketing, sambung Ahok, dapat digunakan untuk mengatur harga tiket bus agar lebih murah di waktu-waktu sepi penumpang. Begitu juga sebaliknya, karena sesuai rencana, nantinya akan diterapkan tarif TransJakarta yang disesuaikan dengan jauh dekatnya tujuan penumpang.
“Bahkan kita juga bisa ngatur kalau di jam tersibuk dengan dominan penumpang paling banyak ke arah tersebut, kita atur supaya bus itu bisa tembak trayek langsung ke tujuan yang penumpangnya paling banyak dan dominan,†tuturnya.0
Koridor Bersengketa Gunakan Tiket Jadul
Hingga kini, penerapan e-ticketing di dua koridor yakni Koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas) dan VI (Ragunan-Dukuh Atas) masih belum berlaku, lantaran tersandung masalah sengketa hukum.
Menurut Kepala Unit Pengelola (UP) Transjakarta Pargaulan Butar-Butar, sampai kini, sistem tiket di dua koridor tersebut masih menggunakan tiket yang lama. “Belum tahu sampai kapan. Karena tergantung pihak Bank DKI dan vendor kapan menyelesaikannya,†ungkapnya.
Dikatakan Pargaulan, secepatnya Bank DKI menyelesaikan antara sengketa hukum dengan PT Megah Prima Mandiri (MPM) soal fasilitas tiket elektronik.
“Kita mau adakan pertemuan membahas permasalahan ini,†tuturnya.
Pargaulan menjelaskan, konflik antara Bank DKI selaku perusahaan rekanan TransJakarta dan vendor penyedia peralatan e-ticketing dimulai sejak Januari 2013. Konflik ini berlanjut hingga kini di pengadilan.
"Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta akan menunggu keputusan hukum, tetapi atas perintah Bank DKI. Jadi, BLU Transjakarta akan menjalankan seperti yang sekarang ini dulu. BLU Transjakarta tidak akan ikut campur persoalan Bank DKI dengan vendornya," ujar Pargaulan.
Saat ini, Bank DKI sedang dalam status tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak penggugat adalah PT Megah Prima Mandiri, perusahaan yang bergerak di bidang IT yang merupakan vendor tiket elektronik yang membangun sarana pendukung tiket elektronik di koridor IV dan koridor VI pada 2012.
Masalah hukum yang terjadi merupakan salah satu alasan kenapa sampai kini tak ada satu pun halte di koridor IV dan VI yang menerapkan tiket elektronik.
Padahal, koridor Ragunan-Dukuh Atas merupakan koridor yang sebenarnya harus sudah menerapkan tiket elektronik, karena tergolong koridor padat penumpang, melewati kawasan Warung Buncit, Mampang Prapatan, dan Jalan Rasuna Said.
“Sepanjang masalah hukum antara Bank DKI dan PT Megah Prima Mandiri masih berlangsung, maka koridor IV dan koridor VI tak akan pernah bisa menerapkan tiket elektronik,†imbuh Pargaulan.
Namun Direktur Utama PT TransJakarta Antonius Kosasih menjamin, meski dua koridor masih bermasalah, namun hal tersebut tak akan menghambat program wajib tiket elektronik di koridor lainnya yang rencana dimulai Januari 2015.
Saat ini, lanjutnya, vendor sedang mengerjakan jaringan fiber optik di koridor IX, X, XI, dan XII. "Kami sudah kerja sama dengan vendor untuk pemasangan fiber optik, terutama di koridor IX, X, XI, XII yang sampai saat ini belum ada sama sekali fiber optiknya. Kalau di koridor I, II, III, V, VII, dan VIII sudah siap," bebernya.
Kosasih menegaskan, pengelola Transjakarta sama sekali tak terlibat dalam sengketa hukum yang terjadi di koridor IV dan VI itu. "Kami tidak terlibat dalam ranahnya Bank DKI dan MPM. Ini bukan sengketa kami dengan MPM, cuma kebetulan ada barangnya MPM di situ (Koridor IV dan VI) yang tidak bisa kami pakai," ucapnya. ***