Kekhawatiran Anas Urbaningrum terhadap bukti forensik elektronik berupa pesan BlackBerry dengan nama pengguna Wisanggeni yang ditayangkan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, sangat beralasan.
Hal itu mengingatkan publik pada peristiwa yang dialami oleh mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, beberapa tahun silam. Kala itu, dalam persidangan jaksa penuntut umum mengajukan alat bukti forensik SMS yang tidak pernah jelas hingga akhir persidangan. dan Antasari dihukum karena bukti-bukti yang meragukan.
Menurut pakar hukum dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, jaksa seharusnya tidak gegabah menjadikan itu sebagai alat bukti. Apalagi, tujuannya untuk menjerat atau memperberat ancaman hukuman.
"Bila perlu dilakukan forensik ulang yang memenuhi standar forensik," kata Suparji dalam keterangannya di Jakarta (Minggu, 8/9).
Dalam prakteknya, lanjut dia, jika seorang penegak hukum ingin menggunakan forensik sebagai alat bukti, tentunya hal itu harus diuji kebenaran dan orisinalitasnya. Forensik juga harus diperiksa proses dan hasilnya apakah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya atau ada indikasi rekayasa.
"Jaksa seharusnya tidak mencari alat bukti, tetapi menemukannya. Mengingat publik juga semakin cerdas dalam menilai proses hukum yang mengadili atau sekadar menghukum," demikian Suparji.
Dalam kasus Anas, jaksa KPK mengajukan bukti forensik elektronik atas BlackBerry dengan nama pengguna Wisanggeni yang ditayangkan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis lalu.
Pesan di dalam BlackBerry tersebut, menurut Wakil Ketua KPK BambangWidjojanto, memuat content pembicaraan Anas yang berusaha menutup-nutupi perbuatan pidana, mempengaruhi saksi, dan lain sebagainya. Atas hal itu, menurut dia, KPK sedang mempertimbangkan untuk menuntut hukuman maksimal kepada Anas Urbaningrum.
[dem]