Pemerintah diminta tidak membuka kran impor sapi dalam revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal itu bakal mengganggu target swasembada daging.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSI) Teguh Boediyanabisa mengatakan, revisi Undang-Undang Peternakan memungkinkan pemerintah untuk mengimpor sapi berdasarkan negara (country based) maupun zona (zona based).
Menurut dia, dengan membuka impor akan berpotensi memperparah posisi peternak sapi lokal. Impor sapi diperkirakan kembali membanjiri pasar dalam negeri.
Teguh menilai, rencana impor sapi indukan juga tidak logis karena selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran pemotongan sapi betina produktif dan bunting.
“Ratusan ribu ekor sapi betina produktif dan hamil dipotong setiap tahun tanpa adanya
law enforcement,†ungkapnya.
Selain itu, dia keberatan dengan impor sapi berdasarkan
zona based. Dengan ketentuan itu, pemerintah bisa mengimpor sapi dari negara yang pernah terserang wabah penyakit kuku dan mulut.
Untuk diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) berniat membuka peluang impor sapi dari Brasil dan India agar tidak tergantung pada sapi dari Australia dan Selandia Baru. Namun, rencana itu terhadang lantaran sapi dari Brasil masih berpotensi terjangkit penyakit mulut dan kuku.
Karena itu, Teguh menilai revisi Undang-Undang Peternakan berpotensi mental di tengah jalan lantaran bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 137/PUU-VII/2009 terkait dengan permohonan judicial review UU 18/2009.
Menurut dia, keputusan MK menyatakan frasa unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona yang terdapat dalam Pasal 59 ayat 2 menunjukkan tidak adanya perlindungan maksimal terhadap rakyat dari risiko masuk dan menyebarkan penyakit hewan menular.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono beralasan, meski kran impor dibuka belum tentu jumlahnya langsung naik. Namun, impor sapi indukan bisa memperbanyak populasi dan meningkatkan produksi.
Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menilai, program swasembada daging yang dicanangkan pemerintah terkendala beberapa kebijakan yang kontraproduktif.
Beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif terhadap program swasembada daging diantaranya tarif bea masuk, pajak pertambahan nilai serta protokol importasi ternak dan daging yang berubah-ubah.
Menurut Rochadi, pencapaian target swasembada daging terkendala sejumlah kebijakan pemerintah yang justru kontraproduktif terhadap program tersebut.
“Kebijakan mengenai tarif bea masuk, pajak pertambahan nilai serta kebijakan importasi ternak dan daging yang berubah-ubah justru menghambat upaya swasembada daging,†terangnya.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, berdasarkan hasil riset yang dilakukan diperkirakan swasembada daging Indonesia paling cepat akan terjadi pada 2024.
Menurut dia, hal itu baru bisa direalisasikan dengan asumsi semua program yang digariskan oleh Kementerian Pertanian berjalan baik.
Jika semua hambatan tidak ditekan atau diminimalisir, target swasembada daging nasional semakin mustahil untuk dicapai.
Anggota Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi mengusulkan pemerintah membangun sentra-sentra produk ternak sapi di daerah-daerah yang mengkonsumsi daging sapi paling besar. Dari total kuota yang dianggarkan, 60 persen dialokasikan untuk konsumsi Pulau Jawa.
“Jawa sebagai konsumsi paling tinggi tapi tidak memiliki peternakan dan sekarang mengambil sapi dari Jawa Timur dan Yogyakarta,†ujarnya.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kemenperin Syukur Iwantoro sebelumnya mengatakan, persoalan daging tidak sekadar komoditi tetapi menyangkut sosial dan politik.
Menurut Syukur, proses pelaksanaan swasembada memang masih terkendala berbagai hal. Meski rencana tersebut sudah mulai tercetus sejak 2000, beberapa kendala menyebabkan usaha itu molor hingga 2014 ditetapkan sebagai waktu yang tepat. ***